BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

header-ad

# Info Nabire

Nabire
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan

Tokoh Pemuda D3N Wilayah Meepago Minta Pernyataan Gubernur Papua Tidak Dipolitisasi

Keterangan Foto
Tokoh Pemuda D3N Wilayah Meepago: Yus Baminggen, S.Sos., M.Si (Kiri) dan Sem Wanimbo (Kanan)

SUARA.NABIRE - Tokoh Pemuda D3N wilayah Meepago, Yus Baminggen, S.Sos., M.Si., dan Sem Wanimbo, mengingatkan agar video pernyataan Gubernur Papua Lukas Enembe yang menyatakan “Orang Papua Tidak Happy” tidak diambil sepotong-sepotong lalu dipolitisasikan ke ruang publik.

Karena menurut keduanya, konteks pembicaraan Gubernur Papua pada saat itu adalah terkait gangguan keamanan yang masih terjadi hingga saat ini di Papua. Sehingga menurut Yus Baminggen, pernyataan tersebut adalah spontanitas yang sangat wajar dan jangan dipolitisasi.

“Saya pikir pernyataan bapak Gubernur itu wajar. Mengapa? Ya, karena hingga saat ini masih terjadi gangguan keamanan di tanah Papua tercinta ini,” demikian ujar Baminggen ketika ditemuai awak media usai mengikuti HUT GIDI ke-59, pada Sabtu (21/02/22).

Sebagai orang yang mencintai tanah Papua, lanjut Baminggen, Gubernur sangat pantas berbicara seperti itu.

“Itu kan spontanitas beliau sebagai bagian dari rasa kepeduliannya terhadap tanah papua. Apa masalahnya? Pernyataan beliau jangan digiring ke ranah politik,” tambah Baminggen

Menurut Baminggen, Gubernur bicara itu dalam konteks penanganan keamanan di Papua yang masih sangat urgen hingga saat ini. Dan hal itu merupakan tanggungjawab semua pihak yang hidup di tanah Papua. Baik itu dari masyarakat dan kalangan pemerintah daerah terlebih lagi Pemerintah Pusat.

“Jadi wajarlah bapak Lukas Enembe mengatakan orang Papua tidak happy di tanahnya sendiri. Mengingat gangguan keamanan yang masih terjadi hingga kini. Pernyataan seperti ini kan bisa menjadi bahan komparatif bersama dan semua pihak bisa merasakan betapa orang papua hidup dalam ketidakberdayaan. Itu kan wajar saja” tegas Baminggen

Baminggen menambahkan jika ada pihak-pihak yang mengatakan pernyataan Gubernur itu tidak proporsional dan menggiringnya kepada soal pemberian kewenangan, itu sangat keliru dan justru bisa menimbulkan gangguan keamanan baru.

“Kondisi keamanan di Papua ini kan sudah stadium akud. Dan itu merupakan tanggungjawab semua pihak. Jangan lagi bicara soal pemberi kewenangan disitu. Mari kita semua saling mengahargai dan berperan dalam menjaga keamanan. Bukan menyalahkan Gubernur saja,” tutur Baminggen.

Menurut Baminggen, soal keamanan dan kesejahteraan orang Papua bukan hanya tanggungjawab Gubernur Lukas Enembe saja tetapi merupakan tanggungjawab bersama. Dikatakannya bahwa pernyataan Gubernur itu bisa dijadikan acuan atau spririt agar semua pihak bisa menjaga keamanan mulai dari diri sendiri.

“Jika ada oknum yang mengatakan Gubernur Lukas Enembe selama ini sudah buat apa untuk tanah Papua, maka saya ingin bertanya balik kepada oknum yang bilang begitu, Anda sendiri sudah buat apa untuk Papua? Apa yang sudah Anda berikan? Mari kita berefleksi. Jangan saling menyalahkan, ” demikian pungkas Tokoh Pemuda D3N di wilayah Meepago, Yus Baminggen, S.Sos., M.Si. (Red)

Redaktur: Ronaldo Simbiak

Yus Baminggen Tegaskan "Pemuda D3N Siap Bela Gubernur Papua"

Keterangan Gambar: Yus Baminggen, S.Sos., M.Si (Tokoh D3N Kabupaten Nabire dan Meepago)

SUARA.NABIRE - Menanggapi berbagai desakan dari beberapa pihak yang mendesak untuk menggantikan Gubernur Papua dari jabatannya, Yus Baminggen, S.Sos., M.Si., selaku Tokoh pemuda D3N (Dani, Damal, Nduga) di kabupaten Nabire dan Meepago, menyatakan sikap siap membela Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP, MH.

“Kami sangat menyesalkan sikap beberapa pihak yang mendesak Pemerintah Pusat segera menunjuk penjabat Gubernur di Provinsi Papua. Bagi kami hal ini merupakan politisasi dan bisa menimbulkan kisruh di tengah masyarakat papua,” demikian ditegaskan Yus pada Kamis (06/01/22)

Menurutnya, tuntutan tersebut di politisir untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian sebagai masyarakat dan Tokoh pemuda D3N kabupaten Nabire dan Meepago, Yus merasa bertanggung jawab untuk bersuara.

“Marilah kita bersama-sama menciptakan kondisi yang harmonis di tanah Papua. Semuanya kan ada mekanisme dan aturannya. Tidak semudah itu menurunkan seorang Gubernur. Apalagi beliau pak Lukas Enembe itu sosok pemimpin Papua yang sudah banyak berkorban dan membela rakyat Papua,” ungkap Yus

Yus juga meminta kepada seluruh masyarakat untuk tidak terpengaruh terhadap gerakan propaganda Politik yang sengaja mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban di Papua. Menurutnya masyarakat jangan terprovokasi dengan isu tendensius politik yang selama ini terjadi

“Kami pemuda Dani, Damal, dan Nduga akan siap membela Gubernur Papua dan menolak semua gerakan-gerakan yang mencoba menurunkan beliau tanpa dalil dan dasar yang jelas,” demikian pungkas Yus Baminggen, S.Sos., M.Si., selaku Tokoh pemuda D3N (Dani, Damal, Nduga) di kabupaten Nabire dan Meepago. (Red)

Editor: Nona Papua

Para Tokoh Adat di Nabire Tolak 5 Komisioner KPU dan 3 Komisioner Bawaslu Nabire


SUARA.NABIRE - Para Tokoh Adat dan Kepala Suku di Kabupaten Nabire menolak sekaligus meminta KPU Pusat dan KPU Provinsi Papua untuk segera mengganti 5 Komisioner KPU Nabire dan 3 Komisioner Bawaslu Nabire. 

Demikian penegasan para Kepala Suku dan Tokoh Adat Kabupaten Nabire kepada sejumlah awak media pada hari Sabtu (24/04/21) sore, di Rumah Makan Sari Kuring yang terletak di Jln. Kupang, Kali Susu kota Nabire. 

Adapun para Kepala Suku atau Tokoh Adat tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kepala Suku Besar Wate: Alex Raiki
  2. Kepala Himpunan Dewan Adat Suku Mee di Nabire: Permianus Fery Youw.
  3. Kepala Suku Yaur: Saul Waiwoi.
  4. Kepala Suku Moora: Donatus Yacob Sembor.
  5. Ketua Badan Musyawarah Adat Kabupaten Nabire: Agus Rumatrai.
  6. Anggota Luar Biasa Badan Musyawarah Adat Kabupaten Nabire: Wartanoi Hubert.
  7. Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Nabire: Karel Misiro.
  8. Kepala Suku Besar Dani, Damal, Dauwa, Nduga (D3N): Ayub Wonda.
  9. Kepala Sub Suku Wate Kampung Oyehe: Yohan Wanaha.
Kepala Himpunan Dewan Adat Suku Mee di Nabire, Fery Youw, mengatakan bahwa para tokoh adat telah kecewa dan sangat menyayangkan kinerja Komisioner dua lembaga penyelengara Pemilu di Nabire tersebut.

"Sebab mereka (penyelenggara: KPU dan Bawaslu) tidak menunjukkan hasil yang maksimal dan hanya menghabiskan anggaran 56 milyar pada Pilkada untuk menghasilkan PSU," tutur Fery Youw.

Youw menambahkan bahwa jika penyelenggara bekerja degan baik, maka tidak perlu ada PSU. "Tapi karena sebaliknya hanya membuang anggaran daerah," tegas Youw

Pada tempat yang sama, Anggota Luar Biasa Badan Musyawarah Adat Kabupaten Nabire, Wartanoi Hubert, juga mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap penyelenggara hingga menyebabkan PSU .

"Penyelenggara sendiri telah diperkarakan di DKPP. Namun yang tidak memuaskan adalah DPPP tidak memberhentikannya, malahan hanya menjatuhkan sanksi teguran keras," ujar Wartanoi.

Sehingga lanjut Wartanoi, yang diinginkan oleh tokoh masyarakat berdasarkan masukan dari warganya, agar PSU tidak dilaksanakan oleh Komisioner dari KPU dan Bawaslu Nabire, akan tetapi dilaksanakan langsung oleh KPU RI dan Bawaslu Provinsi Papua.

“Kami kecewa dengan DKPP RI yang hanya memberikan sanksi teguran. Sehingga andai PSU tidak dilaksanakan oleh Pusat dan Provinsi, maka sebagian diganti dengan daftar tunggu, dan yang lamai disingkirkan. Kalau tidak, maka bila terjadi gejolak di masyarakat, kami tidak mau bertanggungjawab atau melerai nantinya,” demikian diingatkan Wartanoi.

Senada dengan itu, Yohanes Wanaha, selaku Kepala sub Suku Wate kampung Oyehe, Distrik Nabire, menambahkan bahwa dengan pernyataan para Kepala atau Tokoh Adat maka sangat jelaslah penolakan terhadap penyelenggara PSU oleh Komisioner KPU dan Bawaslu Nabire.

Dikatakan Wanaha bahwa pihaknya sudah melayangkan surat kepada Pemerintah Daerah dan KPU Provinsi Papua sehingga saat ini hanya menunggu tanggapan balik dari KPU Provinsi Papua. "Pernyataan sikap kami secara tertulis sudah disampaikan kepada Penjabat Bupati, Kapolres, Dandim, Kajari termasuk anggota KPU Propinsi Papua,” jelas Wanaha.

Kendati demikian, Wanaha mengatakan bahwa para Tokoh Adat tetap menghargai amar putusan Mahkamah Konstitusi, namun menolak keputusan DKPP. Sebab DKPP hanya menyampaikan amar putusan dengan memberikan peringatan tegas kepada KPU dan Bawaslu Nabire.

Maka menurutnya, yang dilakukan saat ini adalah menunggu dan mempertanyakan jawaban dari Pemerintah Daerah. Sebab pada intinya para Tokoh Adat mewakili masyarakatnya sudah menolak penyelenggara.

“Karena kami mengganggap bahwa dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara tidak relevan bekerja dan terbukti melanggar aturan,” pungkas Wanaha

Ditegaskannya bahwa pernyatan tersebut bukan atas dasar kepentingan ataupun keberpihakan kepada kandidat tertentu. Tetapi murni aspirasi yang disampaikan oleh Tokoh Adat setelah menerima masukan dari warganya.

“Kami tidak bicara untuk kepentingann probadi, tetapi umum. Dan tidak ada untuk kepentingan kandidat, klu soal kandidat itu urusan pribadi” demikian tutup Yohanes Wanaha mewakili para Tokoh Adat di Kabupaten Nabire. (Red)

Dukung "Anak Adat" Dalam PSU Nabire, 9 Suku Pemilik Hak Datuk Tanah Adat Nabire Gelar Diskusi Panel



SUARA.NABIRE - Pelaksanaan diskusi panel Tokoh intelektual dari 9 suku pemilik hak datuk tanah adat Nabire berlangsung di pantai Kamasan Wadio Nabire, pada Sabtu (27/03/2021).

Adapun diskusi panel tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan kepada salah satu Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Nabire yang dianggap sebagai "Anak Adat" dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang kembali akan diselenggarakan di Kabupaten Nabire.

Diskusi yang berlangsung selama sehari tersebut diikuti oleh kurang lebih 250 orang perwakilan anak-anak adat dari 9 suku pemilik hak datuk tanah Nabire.

Sembilan perwakilan kepala suku dan Tokoh intelektual dari masing-masing suku antara lain:
  1. Suku Wate: Elon Raiki
  2. Suku Wate: Elon Raiki
  3. Suku Yeresiam Goa: Ayub Kowoi
  4. Suku Umari: Lambertus Mareku
  5. Suku Me lembah: Oto Magai
  6. Suku Yaur: Aser Andoy
  7. Suku Boa: Piet Hein Sayori
  8. Suku Mora: Yulian Worumboni
  9. Suku Ause: Elias Pokapa
  10. Suku Keuw: Yohanes Ekampa.
Kesembilan suku tersebut mendiami dataran tinggi pedalaman Nabire dimulai dari Ororodo sampai dengan Dipa, Menou dan dari ujung Kamarisano sampai dengan Goni.

Ketua panitia pelaksana kegiatan, Feliks Makay, yang juga selaku anak adat pemilik hak datuk mengatakan bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan dalam menyatukan kembali tali persaudaraan

"Kegiatan ini kami lakukan guna mempersatukan tali persaudaraan kami yang selama ini hilang diantara kita yang mendiami dataran tinggi Nabire dan mereka yang mendiami pesisir pantai Nabire", ujar Feliks Makay.

Ditambahkan Feliks bahwa kegitan tersebut juga dilakukan untuk menyatukan persepsi dan pemahaman bagi anak-anak adat pemilik hak datuk dari 9 suku yang ada di Nabire.

"Kenapa hal ini kami lakukan? Agar jangan lagi ada pengkotak-kotakan antara kami yang ada di gunung dan mereka yang ada di pesisir pantai, serta kami anak-anak adat ini jangan lagi terpecah belah karena kondisi politik pasca pemilihan Bupati tanggal 9 Desember lalu, dan pasca keputusan MK dalam pemilihan Pilbub tahun 2021 kemarin," jelas Feliks.

Feliks Makay juga mengatakan bahwa sudah saatnya rakyat Nabire bersatu, khususnya pemilik hak datuk tanah Nabire sehingga kuat dan solid untuk menyongsong PSU Bupati dan Wakil Nabire.

Ketika ditanyai oleh awak media ini terkait kandidat mana yang nanti akan dipilih pada PSU Calon Bupati dan Wakil Bupati Nabire, Feliks mengatakan bahwa mereka sudah mempunyai pilihan yaitu salah satu Paslon yang dianggap sebagai "Anak Adat" yang punya Nabire.

Senada dengan itu, Kepala suku besar Yeresiam Goa, Ayub Kowoy, yang mewakili 9 kepala suku mengatakan bahwa mereka berkumpul dan merapatkan barisan untuk kembali mendukung kemenangan salah satu Paslon dalam PSU Nabire nanti yang dianggap sebagai Anak Adat.

"Intinya adalah patut kami berkumpul disini untuk merapatkan barisan dan bersatu kembali, dimana kemarin kita 9 kepala suku belum bersatu, sekarang ini mari merapat, kita satukan barisan demi anak cucu kita ke depan nantinya," ujar Ayub Kowoy.

Pada tempat yang sama, dua perwakilan anak muda pemilik hak datuk tanah adat Nabire, Niko Waray dari Suku Wate dan Mirna Hanebora dari Suku Yeresiam juga menyampaikan bahwa sudah saatnya mereka bersatu kembali untuk mengembalikan hak kesulungan mereka yang selama ini telah dirampas oleh orang lain.

"Harapan saya sebagai anak muda mewakili suku Yerisiam, nanti yang saya harapkan adalah Nabire harus dipimpin oleh anak asli Nabire." ungkap Mirna Hanebora.

Mirna tegas mengatakan bahwa untuk Nabire bisa bangkit, maka itu harus ada anak asli Nabire yang pimpin Nabire. "Untuk itu saya menghimbau dari Goni sampai Kamarisano saya punya kerinduan untuk Nabire adalah mari kita bersatu, sebab sudah 55 Tahun dari Tahun 66 sampai sekarang, kita tidak diberikan kesempatan menjadi pemimpin di Nabire," jelas Mirna.

Dikatakan Mirna bahwa usia 55 Tahun ini usia setengah abad, sehingga waktu sekarang bukan waktu lagi untuk mereka harus di asuh lagi oleh orang. "Tapi kita bangkit dari kegagalan dan kekalahan kita untuk membangkitkan generasi kita maju menjadi seorang pemimpin di tanah kami, Nabire," tutur Mirna

Menutup ulasannya, Mirna menyampaikan bahwa untuk merebut kembali Nabire semua harus mengatur kamar adat Nabire dengan baik ke depannya nanti. "Kita tidak menjadi penonton di tanah ini. Jadi kita harus merubah sistem diatas tanah ini, kita pemainnya," demikian tutup Mirna Hanebora. (Red)

Editor: Tonci Numberi

Dandim 1705 Nabire Berharap Putusan MK Dijadikan Pelajaran Agar Tidak Ada Lagi Pelanggaran dalam PSU


SUARA.NABIRE - Menyikapi keputusan MK terhadap sengketa Pilbub Nabire, Dandim 1705 Nabire, Letkol Inf. Benny Wahyudi, M.Si., menghimbau kepada seluruh warga kabupaten Nabire agar Keputusan MK bisa dijadikan pelajaran dalam memperbaiki pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sebelumnya, demi melaksanakan PSU ulang yang lebih baik.

Demikian dikatakan Benny selaku Dandim 1705 Nabire pada acara tatap muka dengan PLH Bupati Nabire dalam rangka menyikapi Putusan MK, yang juga diikuti oleh Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), yang berlangsung di Aula Sekertariat Daerah Kabupaten Nabire, pada hari Selasa (23/3/21).

"Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak dalam menjaga situasi Kamtibmas di Kabupaten Nabire, dari proses tahapan Pemilu sampai dengan Putusan MK kemarin dapat berjalan dengan aman dan kondusif," ungkap Benny dalam pertemuan tersebut.

Ditambahkannya, dalam Putusan MK kemarin, merupakan pelajaran bagi semua pihak agar dalam pelaksanaan Pilkada ke depannya tidak terjadi kejadian yang serupa. Sehingga anggaran yang seharusnya dipakai untuk kepentingan lain menjadi dilimpahkan untuk biaya Pemungutan Suara Ulang yang tidak sedikit.

"Mari kita bersama-sama mensosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat, agar bisa memberikan hak suaranya secara langsung, tidak ada lagi masyarakat yang meminta pemilihan secara ikat atau noken. Bagi masyarakat yang tidak memiliki KTP ataupun undangan resmi tidak akan bisa memberikan hak suaranya," demikian tutup Dandim 1705 Nabire, Letkol Inf. Benny Wahyudi, M.Si. (Red)

Editor: M Tekege

Kajari Nabire Minta Semua Pihak Sikapi Keputusan MK dengan Profesional, Berintegritas dan Berhati Nurani


SUARA.NABIRE - Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nabire, Muhammad Rizal, SH., MH., mengajak semua pihak, baik aparat negara dan daerah, serta seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Nabire, untuk menyambut putusan MK secara profesional, berintegritas, berhati nurani, dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat nabire diatas segala-galanya.

Demikian ajakan tersebut dikatakan Kajari Nabire dalam acara tatap muka dengan PLH Bupati Nabire yang diikuti oleh Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), yang berlangsung di Aula Sekertariat Daerah Kabupaten Nabire, pada hari Selasa (23/3/21), Pukul 10.00 WIT

"Kita berkumpul terkait telah jatuhnya putusan MK terhadap sengketa Pilkada Kabupaten Nabire. Proses politik lewat ajang Pilkada telah berlangsung. Namun rupanya dilakukan proses hukum atas adanya sikap tidak puas para pihak tertentu yang dilangsungkan di MK. Dan kita tahu putusan telah usai," demikian tutur Kajari Nabire.

Lanjut Kajari, bahwa sifatnya final dan binding (terakhir dan mengikat) selesai, tidak ada upaya hukum lagi. "Dan karenanya kami masyarakat termasuk yang hadir dalam rapat ini semua komitmenkan lagi untuk taat asas dan patuhi hukum dalam hal harus siap laksanakan Putusan MK untuk Pilkada Ulang (PSU)," ungkap Kajari Nabire.

Kajari menambahkan bahwa tentu hal tersebut bukan hal yang mudah dan diluar kebiasaan masyarakat, khususnya di Kabupaten Nabire. "Karena seperti seolah kita memulai lagi dari awal, meskipun pasangan calonnya tidak berubah," ujarnya.

Sehingga melalui kesempatan itu, Kajari Nabire mengajak para Tokoh Adat, Agama dan Pemuka masyarakat, baik yang tergabung dalam Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) maupun di luar, untuk bersama-sama mengamankan Pilkada Ulang di Kabupaten Nabire.

"Ayo sama-sama kita kerja gandeng tangan agar Pilkada Ulang berlangsung aman, lancar, kondusif, dan dengan hasil apapun itu, kita semua doakan semoga itu yang terbaik untuk Kabupaten Nabire," demikian pesan Kajari Nabire, Muhammad Rizal.

Ditegaskannya pula bahwa pihak Kejaksaan Negeri Nabire akan menindak tegas terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan pelanggaran hukum akan diproses hukum.

Namun sebaliknya, Kajari tegaskan bahwa pihak Kejaksaan Negeri Nabire pasti akan mengapresiasi seluruh pihak, siapapun itu yang bertindak taat hukum.

"Terhadap proses penegakan hukum, agar bila cukup bukti sebagaimana ketentuan UU, maka akan diproses lanjut hingga putusan. Namun bila tidak cukup bukti, Tim Gakkumdu harus profesional menyatakan tidak dapat ditindaklanjuti," pungkas Kajari

Terkait hal tersebut, Kajari akan meminta agar Kasi Pidum dan jajarannya untuk efektif memantau proses penanganan kasus yang menjadi domain wewenang Gakkumdu.

"Tim Gakumdu harus profesional, bersikap jujur dan adil (Jurdil), dan sesuai hukum. Jangan sekali-kali ada keberpihakan. Harus jaga netralitas. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa, Aamiin, Terima kasih," demikian dikatakan Kepala Kejaksaan Negeri Nabire, Muhammad Rizal, SH., MH., menutup amanatnya. (Red)

Editor: Ika Putri

Maipon Beberkan Pemda Nabire Sudah Keluarkan 56 Miliar dalam Pilkada 2020


SUARA.NABIRE - Daniel Maipon, S.STP., selaku PLH Bupati Kabupaten Nabire, mengingatkan bahwa untuk Pilkada tahun 2020 Pemerintah Daerah sudah mengeluarkan dana sebanyak 56 miliar. Sehingga untuk pelaksanaan PSU, pihaknya akan melakukan intervensi ulang terutama pada DPT.

Demikian hal tersebut diingatkan Daniel pada acara tatap muka dalam rangka menyikapi Putusan MK, yang juga diikuti oleh Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), yang diselenggarakan di Aula Sekertariat Daerah Kabupaten Nabire, pada hari Selasa (23/3/21).

"Kami pemerintah daerah mengeluarkan dana untuk Pilkada tahun 2020 sebanyak 56 miliar. Dan saat ini MK sudah membacakan putusan untuk melakukan pemilihan ulang sehingga kami harus melakukan intervensi ulang terutama pada DPT," demikian dikatakan Daniel dalam acara tersebut.

Daniel juga mengatakan bahwa sesuai hasil kesepakatan bersama tanggal 18 Maret 2021 di Polres Nabire untuk menerima apapun putusan MK dan putusan sudah di bacakan oleh MK pada tanggal 19 Maret 2021 sehingga sampai saat ini situasi masih tetap aman kondusif.

"Pemilihan di Kabupaten Nabire harus secara langsung, tidak sistem Noken, sehingga kami berharap kepada para Tokoh dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat kita," pesannya.

Daniel menambahkan bahwa dirinya akan memerintahkan Dinas Dukcapil untuk tidak menerbitkan KTP yang bukan penduduk asli Nabire, dan siapapun Bupati yang terpilih itu lah pemimpin kita di Kab. Nabire.

Menutup amanatnya, Daniel mewakili Pemda Kabupaten Nabire meminta agar semua pihak bisa membantu untuk menjaga jalannya PSU dengan aman

"Kami Forkompinda mohon dukungan dari Bapak/Ibu untuk membantu mengawal dan menjaga jalannya PSU ini agar tetap aman, apabila ada yang membuat keributan, maka saya akan meminta kepada Bapak Kapolres dan Dandim untuk memproses," tutup Daniel Maipon, S.STP., selaku PLH Bupati Kabupaten Nabire. (Red)

Editor: Yubelince Pekey

KPMP Papua Desak Pemerintah dan KPK Segera Tuntaskan Penyelewengan Dana Otsus



SUARA.NABIRE - Komponen Pemuda Merah Putih (KPMP) Provinsi Papua, mendesak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk segera menuntaskan penyelewengan penggunaan dana Otonomi Khusus (Otsus) di Papua oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).

Desakan tersebut dilakukan KPMP dalam aksi damai yang digelar di Taman Yos Sudarso (Imbi), Kota Jayapura, pada hari Rabu (17/03/21).

Dalam aksi tersebut, Ali Kabiay, selaku Ketua KPMP Papua, menyampaikan sekurangnya 10 poin yang menjadi tuntutan KPMP terkait dinamika politik yang terjadi di Provinsi Papua agar pemerintah pusat bisa mengambil langkah tegas demi kesejahteraan masyarakat Papua, karena akan berdampak pada stabilitas keamanan di Papua.

“Ada 10 poin yang kami sampaikan agar diambil langkah yang signifikan dalam menanggapi berbagai isu yang terjadi di Papua saat ini. Terkait tuntutan ini, kami akan teruskan ke Komisi I DPR RI, Kemenko Polhukam, Polda Papua, dan tentunya kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah yaitu DPR Papua,” demikian ungkap Ali dalam orasinya.

Beberapa poin penting dari 10 tuntutan KPMP Papua diantaranya adalah (1) Mendukung keberlangsungan Otsus, (2) Meminta KPK turun tangan atas kasus korupsi di Papua, (3) Mendukung pemekaran provinsi dan (4) Menaikkan status organisasi separatis Papua menjadi bagian dari kelompok teroris, serta (5) menyoroti lingkup Majelis Rakyat Papua (MRP) terkait Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 3 wilayah adat yang dipolitisasi.

“Dinamika yang terjadi di Papua saat ini perlu mendapat perhatian, oleh sebab itu kami atas nama pemuda asli Papua berhak untuk menuntutnya, terutama poin otsus, karena berkaitan langsung dengan kehidupan di masyarakat,” tegas Ali

Terkait dengan kebijakan otsus yang sudah hampir 20 tahun menaungi Papua, KPMP menegaskan bahwa kebijakan tersebut perlu untuk dilanjutkan karena menurutnya upaya tersebut telah berhasil merangsang kemajuan bagi Papua.

Ali juga menegaskan agar pemerintah pusat dapat menindak tegas setiap kelompok yang telah merugikan negara. Hal tersebut diungkapkannya dalam poin penindakan terhadap dugaan kasus korupsi dan eksistensi kelompok spearatis Papua yang mengancam keamanan secara nyata.

“Korupsi di Papua menjadi faktor mengapa daerah selalu dirundung keterbelakangan yang tercermin dari rendahnya kesejahteraan rakyat. Dan kami juga menuntut agar dilakukan upaya tegas kepada kelompok perusuh (kelompok separatis), kalau perlu naikkan statusnya menjadi kelompok teroris,” tegasnya.

Sementara terkait persoalan gerakan separatis Papua, Ali Kabiay mewakili KPMP Papua, meminta secara langsung kepada Komisi I DPR RI untuk menyelesaikannya sebagaimana hal tersebut telah diperkuat dengan pernyataan sikap. (Red)

Jelang Putusan MK, Kajari Nabire Himbau Semua Pihak Utamakan Rasionalitas Bukan Emosi Sesaat


SUARA.NABIRE - Dikonfirmasi menjelang keputusan MK atas sengketa Pilbub Nabire yang resmi diumumkan pada besok tanggal 19 Maret 2021, Kepala Kejaksaan (Kajari) Negeri Nabire, Muhammad Rizal, SH., MH., menegaskan agar semua pihak bisa mengutamakan rasionalitas dan bukan emosi sesaat.

Demikian diingatkan Rizal ketika dikonfirmasi awak media ini usai memimpin Apel WBK dan WBBM di kantor Kejaksaan Negeri Nabire, pada Kamis (18/03/21).

"Selaku bagian dari unsur Forkopimda didaerah ini, saya minta semua pihak untuk kedepankan rasionalitas berdasarkan hukum, bukan emosi sesaat yang justru akan merugikan kita semua bahkan utamanya adalah anak cucu kita," tutur Rizal.

Dikatakannya bahwa konstitusi membuka ruang untuk adanya upaya mencari keadilan. Itu adalah hak setiap Warga Negara yang di jamin. Termasuk soal keadilan dalam ranah pilkada. Sehingga manakala ada pihak yang merasa tidak puas, maka sepanjang beralasan secara hukum, ruang untuk menggugat hasil pilkada yang ditetapkan KPU selalu terbuka

"Sengketa Pilkada kali ini terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK). Kita tidak masuk lebih jauh pada alasan-alasan pemohon. Demikian pula terhadap tanggapan termohon, KPU, dsb. Itu ranah hukum dan kita tahu proses hukum tersebut sedang berlangsung di MK," demikian ucapnya.

Untuk itu, Rizal menghimbau bahwa dalam rangka antisipasi berbagai kemungkinan termasuk potensi adanya masalah yang bisa muncul di masyarakat, perlu ditegaskan dan dipahamkan bahwa ruang uji atas penetapan hasil pilkada sudah di buka dan telah digunakan oleh pihak berkepentingan cq pemohon.

"Masing-masing pihak bersengketa telah berupaya membuktikan kebenaran hukum masing-masing dengan dalil-dalilnya. Tinggal tunggu putusan akhir," terangnya.

Sebagai Forkopimda, Rizal menghimbau agar kepada aparat negara hendaknya tetap bertindak secara profesional, responsif, bertanggung jawab secara moral dan tetap menjaga independensi dan netralitas.

"Kepada para pihak terkait yang bersengketa, kita tahu putusan MK adalah final dan binding (tuntas/final dan mengikat). Seluruh Warga Negara siapapun, termasuk aparat, semua harus patuh, tunduk, dan taat hukum dengan menghormati apapun putusan MK," pungkasnya. 

Dirinya juga mengajak seluruh warga agar tetap yakin bahwa Majelis Hakim MK akan menjatuhkan vonis yang benar telah memenuhi rasa keadilan dan berdasarkan peraturan yang berlaku. 

"Karena itu, kami ajak, semua pihak harus berlapang dada dan berbesar hati untuk siap menerima apapun itu putusannya. Bukankah dahulu pernah menyatakan sikap "siap menang atau kalah?," tutur Kajari Nabire yang baru 3 hari ini menjabat menggantikan Kajari yang lama

Rizal menjelaskan bahwa orang Papua adalah orang yang punya semangat membaja, pantang menyerah, pekerja keras, tapi sekaligus lemah lembut dan konsisten dalam kebenaran. Mentalitas taat hukum pasti adalah salah satu karakter utama. Termasuk sportivitas adalah salah satu nilai utama yang selalu dipegang.

"Untuk itu, selaku Pimpinan salah satu institusi penegakan hukum di Nabire ini, kami mengajak kita semua untuk saling bekerja sama, bahu membahu untuk konsisten dan komitmen dengan apa yang sudah disepakati," pesannya.

Dia pun mengajak warga untuk secara seksama  mencermati dan pahami dengan baik dan benar apa yang menjadi putusan MK besok. Diingatkannya agar warga jangan mudah termakan isu atau hoax dan bisa saring informasi dengan baik baru di share ke publik. 

"Jangan terprovokasi, dan juga tidak boleh memprovokasi. Kedepankan fakta, jangan hanya katanya-katanya. Hati-hati agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang merugikan kita semua," ungkapnya.

Rizal berharap bahwa putusan yang diambil MK adalah benar berdasar hukum, demi keadilan dan kemashlahatan khusus untuk warga Nabire. 
"Kami berharap dan berdoa, moga kita semua aparatur negara harus siap memberi pelayanan terbaik pada semua. Pun demikian seluruh lapisan masyarakat termasuk para pihak yang bersengketa di MK selalu mengutamakan kepentingan rakyat Nabire diatas segalanya," pesannya.

Ditambahkannnya, agar warga bisa menghindari hal-hal yang tidak perlu bahkan potensial memicu permasalahan bahkan hingga konflik. Jangan ada perbuatan atau tindakan yang bersifat melanggar hukum dan/atau mengganggu Kamtibum. 

"Selaku Forkopimda, khususnya kami sendiri dari Kejaksaan tegaskan, kami akan menindak keras terhadap siapa saja yg melakukan perbuatan pelanggaran hukum, jangan coba-coba. Siapa bersalah pasti akan diproses hukum," demikian tegas Rizal.

Sebaliknya, Rizal juga mengatakan bahwa pihaknya akan mengapresiasi seluruh pihak, siapapun itu yang bertindak taat hukum, dan menjaga Kamtibum di Bumi Nabire Tanah Papua ini.

"Agar ke depan, apapun itu hasilnya kita berharap semoga itulah yang terbaik untuk untuk para pihak, untuk kita semua utamanya untuk rakyat Nabire. Tetap jaga disilpin prokes Covid-19," demikian tutup Kepala Kejaksaan Negeri Nabire, Muhammad Rizal, SH., MH.
(Red)

Ketua Bawaslu Nabire, Adriana Sahempa, Minta Semua Pihak Menghormati Keputusan MK


SUARA.NABIRE - Ketua Bawaslu Kabupaten Nabire, Adriana Sahempa, S.PAK., meminta kepada semua pihak agar nantinya bisa menghormati apapun yang diputuskan oleh MK pada tanggal 19 Maret 2021 nanti terkait sengketa Pilbub kabupaten Nabire.

Hal tersebut dikatakan Adriana dalam acara silahturahmi Coffee Morning yang digelar oleh Polres Nabire yang turut dihadiri Pemerintah Daerah dan unsur Forkopinda, beserta perwakilan masyarakat di Kabupaten Nabire, pada Rabu (17/03/21) yang bertempat di Ruang Birokrasi Polri (RBP) Polres Nabire.

Ditegaskan Adriana bahwa Bawaslu hanya menangani Sengketa Proses yang terjadi dalam tahapan Pilkada, tapi untuk Sengketa Perselisihan Hasil, itu adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Mari kita hormati putusan yang akan direncanakan tanggal 19 Maret 2021 nanti," tutur Adriana ketika diberikan kesempatan untuk berpendapat mewakili pihak Bawaslu Nabire dalam acara tersebut.

Ditambahkan Adriana bahwa penyelenggara tidak luput dari proses apabila menyalahi aturan terbukti dalam sidang DKPP yang salah satunya ada anggota Bawaslu.

"Terkait putusan pengadilan dalam kasus OTT, kami meminta info kelanjutannya kepada kejaksaan," ungkapnya

Menutup penjelasannya, tak lupa Adriana mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung Bawaslu Nabire sehingga bisa melaksanakan tugas dan perannya sebagai Bawaslu dengan aman. (Red)

Editor: M Tekege

Ketua KPU Nabire Wilhelminus Degey Katakan "Masyarakat Nabire Paham Demokrasi"


SUARA.NABIRE - Ketua KPUD kabupaten Nabire, Wilhelminus Degey, dalam sebuah forum silahturahmi Coffe Morning yang digelar Polres Nabire pada Rabu (17/03/21), mengapresiasi masyarakat Nabire yang hingga saat ini mampu menciptakan situasi aman dan terkendali menjelang pengunguman hasil sengketa Pilbub Nabire oleh MK pada 19 Maret nanti.

"Pada prinsipnya kami mengapresiasi kepada kita-kita semua yang mana penilaian pemerintah pusat bahwa nabire adalah daerah rawan, namun kita bisa lihat sampe saat ini situasi masih aman terkendali," demikian ungkap Natalis

Dikatakan Natalis bahwa situasi yang aman dan terkendali tersebut sesungguhnya menandakan bahwa masyarakat kabupaten Nabire paham demokrasi. "Itu bukti bahwa masyarakat Nabire paham akan Demokrasi," tegasnya.

Dengan kondisi demikian, Natalis menghimbau kepada seluruh warga masyarakat kabupaten Nabire agar terus menjaga kedamaian dan situasi Kamtibmas tersebut di wilayah masing-masing.

"Mari kita hormati dan mendukung keputusan MK yang telah memiliki putusan hukum dan terikat, dan tetap menghimbau kepada masyarakat kita untuk tetap damai dan menjaga SitKamtibmas di wilayah kita," demikian ujar Natalis Degey selaku Ketua KPUD Kabupaten Nabire (Red).

Editor: Yubelince Pekey

Terkait Pengiriman Pasukan ke Papua, Sokratez Yoman bilang "Penguasa Indonesia Sedang Panik"


SUARA.NABIRE - Menanggapi gencarnya pengiriman pasukan TNI/Polri oleh Pemerintah Indonesia ke Papua, Dr. Socratez Yoman, MA., selaku Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGBWP), menegaskan bahwa "Penguasa Indonesia sedang panik."

Demikian dituliskan Socratez dalam pesannya via Whatsapp kepada redaksi media KOMPAS.PAPUA, pada Rabu (10/03/2021). Dikatakannya pula bahwa penguasa Indonesia adalah kolonial primitif di era modern.

"Kepanikan penguasa Indonesia karena kegagalan diplomasi di tingkat global atau di level internasional," tulis Socratez.

Dalam menghadapi akar persoalan di Papua, Sokratez melihat ada empat kesalahan yang dilakukan Penguasa Indonesia, yakni: (1) Ketidakadilan, (2) Rasisme, (3) Kekerasan negara dan operasi militer menyebabkan pelanggaran berat HAM, dan (4) Persoalan status politik dalam wilayah Indonesia.

"Kepanikan dikalangan penguasa Indonesia karena tekanan solidaritas kemanusiaan dan dukungan moral dari komunitas internasional, maka penguasa Indonesia mengirim pasukan dalam jumlah besar ke West Papua untuk menekan orang asli Papua," ungkapnya.

Kendati demikian, menurut Socratez yang juga merupakan Pendiri serta Pengurus Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC) ini mengatakan, walaupun ada tekanan dari kekuatan TNI-Polri, bagi rakyat dan bangsa West Papua telah memenangkan diplomasi internasional melalui wadah politik resmi ULMWP.

"Persoalan ketidakadilan, rasisme, pelanggaran berat HAM sudah menjadi persoalan yang berdimensi Internasional dan tidak lagi masalah internal Indonesia," tegasnya.

Menutup ulasannya, Sokratez mengusulkan solusi yang harus dilakukan, yaitu Pemerintah RI bersama ULMWP duduk dalam meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Seperti contohnya RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 200. (Red)

Konflik Papua Butuh Kearifan Lokal, Bukan dengan Pendekatan Militeristik



Mungkin benar kutipan syair lagu yang pernah didendangkan Doddie Latuharhary, bahwa: “Tanah Papua, tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi”, dan bla, bla, bla. Benar pula, jika dikatakan: “tanah Papua.. adalah harta harapan... “.

Namun rasanya tidak benar, jika merdunya syair lagu itu diletakkan pada alam realitas yang sesungguhnya, karena petikan syair lagu itu hanya menjadi bagian cerita MOB dalam kisah sang Abunawas.

Sebelum saya memulai lebih jauh goresan ini, perkenankanlah saya mengungkapkan rasa cinta dan sayang saya terhadap tanah Papua.

Ya, saya memang bukan Orang Asli Papua (non-OAP). Tapi saya dibesarkan di tanah Papua. Bahkan orang tua saya sudah mengabdikan dirinya untuk mendidik masyarakat di pedalaman Papua sejak akhir Tahun 60 an.

Dan jujur, saya cinta tanah Papua. Di tanah inilah saya mengenal tentang Kehidupan. Tentang kebaikan, dan tentang keluhuran hidup. Itu sebabnya sebagai rasa cinta saya terhadap tanah Papua, saya ingin mengungkapkannya melalui tulisan ini.

Mari kita mulai goresan ini...

Bahwa secara teoritis, boleh dibilang pemerintah Indonesia memang sudah melakukan perubahan di tanah Papua sejak zaman Orde Baru hingga saat ini. Namun secara praksis, sungguh perubahan-perubahan yang dimaksud itu justru melahirkan hal-hal muskil yang tak kunjung berakhir.

Dalam bidang politik misalnya, bukan hal baru lagi jika sampai detik ini, sebagian masyarakat asli Papua masih mempertanyakan legitimasi kekuasaan Indonesia atasnya.

Bahkan terkesan pemerintah menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua. Akhirnya muncullah tuntutan masyarakat Papua untuk meminta secercah keadilan melalui apa yang disebut dengan “referendum”.

Permasalahan lainnya adalah soal sumber daya alam, dimana sumber daya alam Papua kerapkali digerogoti terutama perusahaan bisnis dari luar Papua, yang sebenarnya justru tidak memberi sumbangan nyata bagi perkembangan Papua secara utuh dan menyeluruh.

Seharusnya, kerja sama yang adil dan sistematik antara pemerintah Indonesia, masyarakat Papua, dan komunitas Internasional, sekiranya bisa menyelesaikan konflik multidimensional yang terjadi selama ini di Papua.

Persoalan pembangunan juga masih menyisahkan rekam jejak yang sangat bias, karena sepertinya pemerintah pusat masih parsial dalam menyelesaikan persoalan melalui percepatan pembangunan di bumi Cenderawasih, Papua.

Ya, semua persoalan di Papua sebenarnya harus disentuh secara simultan mengingat persoalan satu dengan persoalan lainnya memiliki keterkaitan. Pendekatan pembangunan misalnya, hal ini memang penting bagi orang Papua, tetapi ada persoalan lainnya yang tidak bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan ini.

Contoh sederhana adalah persoalan HAM. Persoalan ini tidak bisa dipandang hanya sekedar persoalan ‘kekerasan’ saja. Tetapi jauh daripada itu, bahwa persoalan ini berhubungan dengan tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat Papua, seperti: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Munculnya diskriminasi dan marjinalisasi misalnya, hal ini tidak bisa dikaitkan hanya sebatas aspek ekonomi semata, tetapi harus pula bersinggungan dengan aspek sosial, budaya, dan politik.

Pendekatan Militeristik Menihilkan Kemanusiaan
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto, pendekatan militeristik seharusnya menjadi catatan penting mengingat kerap terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM di tanah Papua. Sehingga hampir sebagain besar orang Papua masih menyimpan trauma dan memori buruk atas pendekatan militer yang terjadi hingga saat ini.

Pendekatan militeristik sebenarnya akan menciptakan ketakutan, teror, konflik, bahkan pertumpahan darah di berbagai tempat. Dan ini sungguh bertentangan dengan nurani Orang Asli Papua (OAP) yang sungguh merindukan kemurnian identitas mereka yang jauh dari kekerasan dan genjatan senjata.

Dan bukan tidak mungkin, dengan Pendekatan militeristik ini, orang asli Papua semakin hidup dalam delusi berkepanjanjangan. Sehingga mereka hanya ingin hidup dan bergaul dengan orang-orang yang satu identitas.

Akhirnya, sikap tertutup ini merusak keutuhan bangsa Indonesia. Sikap ini pula yang akhirnya melukai kehidupan bersama, dan mengundang pertikaian tanpa jedah di bumi Papua tercinta.

Akibatnya, timbullah pemberontakan sepihak dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang terus merongrong keutuhan berbangsa dan bernegara.

Seharusnya persoalan KKB tidak bisa diselesaikan dengan intervensi–intervensi Pemerintah melalui pendekatan militer. Persoalan ini setidaknya bisa diselesaikan melalui kewenangan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Artinya, pendekatan kultural dan kemanusiaan harus diutamakan demi menangani permasalahan KKB di Papua, tanpa menghilangkan pendekatan aspek lain, sehingga tidak bersinggungan dengan kekerasan dan menihilkan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Sebagaimana kisah dalam novel terkenal yang pertama kalinya mencetuskan terminologi 'nihilisme', yakni dalam karya Ivan Turgenev, berjudul: Fathers and Souns (1862).

Dalam novel itu dikisahkan sikap salah seorang tokoh yang menegasi tradisi atau kepercayaan secara total sebagai ‘nihilisme’. Dan sikap ini bukanlah suatu sikap acuh tak acuh, tetapi lebih kepada sikap penolakan, peniadaan, dan penghancuran—seperti yang tampak pada pemberontakan KKB di bumi Papua.

Seharusnya benar, seperti apa yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (1860-1873) dalam karyanya yang sangat terkenal, “On Liberty”. Disitu Mill menulis bahwa “Segala yang menjadikan eksistensi, menjadi berharga bagi setiap orang yang bergantung pada penegakkan pengendalian tindakan-tindakan orang lain“ (John Stuart Mill, On Liberty, 130).

Mill sebenarnya ingin menyatakan disini bahwa apabila kebebasan rakyat ditekan secara penuh, maka sebagian besar diantara mereka akan memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan itu untuk mengesploitasi orang lain.

Sekali lagi, pemerintah harus arif melihat persoalan ini. Pemerintah harus kembali mengedepankan kemanusiaan melalui kearifan lokal.

Sebab sesungguhnya permasalahan yang terjadi di Papua bukan hanya berhenti pada soal bagaimana menghentikan hal-hal yang tidak kita inginkan saja, tetapi harus menghasilkan hal-hal baru yang kita inginkan bersama. Inilah urgensi dalam menyelesaikan konflik yang terus bergulir di tanah Papua.

Perubahan yang Tidak berubah
Sampai detik ini, “perubahan” adalah hal terindah yang sangat didambakan oleh semua kalangan yang hidup di tanah Papua. Namun bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, beragam ancaman terhadap perubahan justru semakin bergulir hingga menuntut masyarakat untuk segera beradaptasi dengannya. Jika tidak, ancaman tergilas oleh perubahan itu semakin kuat dan terbuka.

Perubahan di semua lini kehidupan memang menjadi kata kunci yang sakti bagi masyarakat Papua. Apalagi di saat era inovasi disrupsi yang terjadi saat ini. Tentu membuat perubahan menjadi formula baru, khususnya bagi upaya masyarakat Papua untuk terus mempertahankan diri.

Namun sesungguhnya, berubah dan perubahan bisa mengarah pada kondisi negatif maupun positif. Perubahan sejatinya adalah self defence mechanism alamiah dari kemampuan beradaptasi manusia. Artinya, perubahan menuntut masyarakat Papua menciptakan era baru yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Bagaimana sebenarnya perubahan itu bisa terjadi dan sejauh mana akan berdampak pada kehidupan masyarakat Papua? Dalam petikan pidato terakhir CEO Nokia, Jorma Ollila, pernah mengatakan: "kita tidak melakukan suatu kesalahan, tetapi entah mengapa kami kalah". Jika dikaitkan dengan perubahan, sungguh kalimat ini mengingatkan bahwa perubahan kerapkali luput dalam penglihatan, namun dampaknya fatal dirasakan.

Ya, sudah begitu banyak teriakan dan slogan-slogan perubahan di tanah Papua yang masih terus dikumandangkan hingga detik ini. Bahkan dalam derajad tertentu, kebijakan Pemerintah Pusat maupun Daerah juga sudah dikeluarkan demi menghadirkan perubahan di bumi Papua.

Namun justru bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, keamanan dan kenyamanan hidup pun semakin mencekam. Lalu, kapan perubahan akan terjadi di tanah Papua? Tentu kita tidak dapat memproyeksikan hal tersebut dengan presisi, tetapi kondisi dan situasi atas perubahan dapat dirasakan.

Bagaimana sebuah perubahan dapat dirasakan? Secara nyata, bentuk fisik perubahan mungkin bisa jadi tidak nampak, tetapi lingkungan dan ekosistem bisa berubah setiap saat.

Itu sebabnya pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk memutus rantai yang sampai saat ini terus memicu lahirnya persoalan baru, seperti: ketidakadilan, pelanggaran HAM, politik dan ekonomi.

Berbagai pelanggaran HAM setidaknya harus kembali diselidiki. Korban dan keluarga korban perlu mendapatkan kompensasi dan keadilan selayak-layaknya. Bahkan pelaku perlu ditemukan dan dihukum sesuai aturan maupun rasa keadilan masyarakat Papua.

Pemerintah maupun perusahaan yang ada di Papua mungkin sulit untuk bersikap adil dalam hal ini. Maka dari itu, kerja sama dengan berbagai lembaga internasional kiranya juga diperlukan.

Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang sulit diungkapkan selama ini, setidaknya bisa melibatkan komunitas internasional dalam memainkan peranan agar membantu menguraikan konflik dan mencari jalan keluar, yakni "damai".

Itu semua tentu tak berguna tanpa kehendak baik, sekaligus kebijakan yang jernih dari pemerintah pusat. Tanpa upaya ini, maka Papua akan terus bergejolak.

Pendekatan militer harus pula dibatasi. Sebab dalam banyak kasus, pendekatan militer justru memperburuk keadaan. Masyarakat menjadi agresif dan reaksioner ketika dihadapkan dengan pendekatan militer ini.

Dalam segala persoalan, dialog adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah. Jalur hukum bisa ditempuh jika jalan dialog mengalami kebuntuan.

Dalam hal lainnya, pemerintah dan perusahaan yang beroperasi selama ini di tanah Papua, sebaiknya tidak memberikan janji-janji muluk pada masyarakat Papua.

Untuk mencapai kesepakatan dengan masyarakat lokal, seringkali pemerintah maupun pebisnis membuat beragam janji. Ketika akhirnya sulit terpenuhi, maka timbul kecewa dalam diri masyarakat. Dan perlu dipahami bahwa dalam jangka panjang, kekecewaan ini bisa menjadi dendam yang merupakan tempat subur untuk munculnya konflik.

Sekali lagi, jantung persoalan politik dan sumber daya yang mengemuka selama ini di Papua adalah menyangkut persoalan keadilan! Di tanah yang kaya ini, begitu banyak orang Papua hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara non OAP semakin menggeliat tak beraturan hingga mencapai kondisi kemakmuran diluar batas-batas akal sehat.

Allah Ninarum, wa..waa
Wassalam..Hormat di bri

Oleh: Abdy Bushan, S.Pd., M.Pd., M.Fil
(Penulis adalah dosen Uswim Nabire dan Aktivis Pendidikan)

Ini Isi Surat Terbuka Dr. Socratez Yoman Kepada Mendagri di Jakarta

SUARA.NABIRE l Menanggapi pernyataan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang tidak menutup akses ke Papua, dan dianggap melanggar pencegahan penyebaran virus corona, Dr. Socratez Yoman, MA., Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, mengecam keras dengan menulis surat protes terbuka kepada Mendagri. Berikut isi suratnya


Surat Terbuka

Perihal: Penguasa Indonesia Sedang Melepaskan Papua Dengan Jalan Melawan Undang-Undang Republik Indonesia

Kepada Yang Terhormat,
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Bapak Haji Dr. Tito Karnavian
Di Jakarta

Shalom!
Terima salam hangat saya dari Tanah Papua, Tanah konflik berdarah terlama atau terpanjang dalam sejarah negara-negara Asia dan Pasifik.

Saya melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh bapak sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia untuk penyelesaian persoalan konflik terlama dan berdarah-darah di Papua sejak 1 Mei 1963 yang sudah memasuki lima dekade lebih ini sangat berpotensi besar untuk disintegrasi sosial dan sekaligus disintegrasi bangsa. Sebab pendekatan penyelesaian persoalan konflik menahun (kronis) ini dengan keras dan inkonstitusional. Pendekatan yang dilakukan dengan paradigma lama yang sudah tidak relevan dengan dinamika teknologi dan informasi sekarang ini.

Menurut pemahaman saya, bahwa para penguasa Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya sedang melepaskan Papua dari wilayah Indonesia dengan melawan undang-undang Negara Republik Indonesia. Penguasa Indonesia sedang memotong tali perekat atau tali yang memegang Papua dalam wilayah Indonesia.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua adalah solusi politik, yaitu win win solution karena tuntutan Papua Merdeka dari seluruh rakyat Papua. Indonesia didukung penuh dan kuat oleh Negara-Negara Uni Eropa, Amerika, Australia, Selandia Baru, Negara-Negara Afrika dan juga Negara-Negara Asia dan Pasifik atas undang-undang Otsus.

Pada 2001, saya pernah menemani rombongan pemerintah dari Negara-Negara Uni Eropa ke Wamena dan ke Piramit. Pada waktu kami kembali bersama rombongan dari Piramit ke Wamena, dalam perjalanan, saya berbicara kepada Ketua Delegasi Ambassador De LaMato, bahwa orang asli Papua hampir 99% bahkan 100% menuntut merdeka keluar dari Indonesia. Jawaban yang diberikan kepada saya ialah "kami mendukung Otonomi Khusus dan mendukung Indonesia."

Dalam hal ini, rakyat Papua melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau lewat Dewan Gereja Papua, (WPCC), Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Dewan Gereja Dunia (WCC) berhak pertanyakan komitmen pemerintah Negara-Negara Uni Eropa yang mendukung Otonomi Khusus Papua.

Apakah Negara-Negara Anggota Uni Eropa masih mendukung Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001? Apakah Negara-Negara Anggota Uni Eropa mendukung kegagalan Otonomi Khusus Papua? Apakah Negara-Negara anggota Uni Eropa masih mendukung pemekaran provinsi-provinsi baru tanpa penduduk yang memadai dengan dana-dana pinjaman dari mereka?

Yang mulia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, bapak Tito Karnavian, kami mengerti bahwa Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 itu persoalan yang berdimensi GLOBAL atau INTERNASIONAL bukan hanya persoalan internal Indonesia. Undang-undang Otsus ini sangat berkaitan erat dengan persoalan martabat kemanusiaan orang asli Papua yang mengandung nilai-nilai universal yang tidak dibatasi dengan pemahaman kedaulatan negara dan bangsa yang sempit dan kerdil.

Perubahan Pasal-Pasal Undang-undang Otsus yang sudah membahayakan keutuhan negara Indonesia sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat 2 tentang Bendera sebagai lambang daerah dihapus dan dihilangkan;

2. Pasal 46 ayat 1 dan 2 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) telah dihapus dan dihilangkan;

3. Pasal 76 dan 77 tentang pemekaran provinsi dan evaluasi Otonomi Khusus juga dihapus dan diambil alih oleh pemerintah pusat.

Logika konstitusionalnya ialah Pemerintah Republik Indonesia sudah melepaskan Papua dari wilayah Indonesia dan rakyat Papua berhak mengatur pemerintahannya sendiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Alasannya? Pasal-Pasal krusial dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 2, Pasal 46, Pasal 76 dan Pasal 77 sebagai tali perekat atau tali yang memegang atau tali yang mengikat Papua dalam wilayah Indinesia itu sudah dilepaskan oleh penguasa Indonesia.

Yang terhormat Menteri Dalam Negeri, perlu diketahui bahwa Indonesia telah gagal di Papua dengan tiga kali experimen, sebagai berikut:

1. Indonesia telah gagal dengan experimen pada Pepera 1969. Karena Pepera 1969 dimenangkan ABRI dengan moncong senjata. Peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dari 1.025 orang dipaksa dengan moncong senjata untuk menyatakan tinggal dengan Indonesia.

Contohnya: Jenderal Ali Murtopo mengatakan kepada peserta Pepera pada 2 Agustus 1969 di Jayapura, sebagai berikut:

“Kalau mau merdeka sebaiknya tanyakan pada Tuhan apakah dia bisa berbaik hati membesarkan pulau di tengah Samudra Pasifik supaya bisa bermigrasi ke sana. Bisa juga tulis orang Amerika. Mereka sudah menginjakkan kaki di bulan, mungkin mereka akan bersedia menyediakan tempat untuk Anda di sana. Anda yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir lagi, karena jika Anda melakukannya, murka rakyat Indonesia akan menimpa Anda. Lidah Anda pasti akan dipotong dan mulut jahat Anda akan digoyak. Lalu aku, Jenderal Ali Murtopo, akan masuk dan menembakmu di tempat "(Sumber: SEE NO EVIL: New Zealand's Betrayal of the people of West Papua: Maire Leadbeater: 2018: 154)

2. Indonesia telah gagal dengan experimen Otonomi Khusus 2001 karena Pasal-Pasal Krusial UU Otsus sudah dihapus dan dihilangkan

3. Indonesia telah gagal dengan experimen UP4B. Pada tanggal 20 September 2011, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa untuk melaksanakan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dibentuk UP4B.

UP4B adalah akal-akalan dari penguasa kolonial Indonesia pada saat PBB menyatakan kegagalan Otonomi Khusus. Beberapa Negara dalam sidang umum PBB mempersoalkan kegagalan Otonomi Khusus dan pelanggaran berat HAM. Penguasa kolonial Indonesia yang dihuni oleh para pemimpin paranoid and hypocrisy ini membohongi komunitas internasional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2011 tentang UP4B.

Dari kegagalan demi kegagalan ini, penguasa Indonesia masih menggunakan pendekatan lama dengan experimen yang keempat, yaitu Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dengan gigih berjuang untuk pemekaran-pemekaran provinsi baru tanpa penduduk yang memadai, sumber daya manusia, sumber daya dana.

Akhir dari surat ini, saya sampaikan Indonesia segera menjawab 18 pertanyaan dari PBB dan menyelesaikan 4 akar persoalan Papua yang sudah ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Indonesia menjelaskan beberapa hal terkait dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam dua tahun terakhir. Permintaan ini disebutkan dalam dokumen CCPR/C/IDN/QPR/2 tentang List of issues prior to submission of the second periodic report of Indonesia.

“Indonesia diharapkan menjawab pertanyaan yang ada dalam List of issues prior to submission of the second periodic report satu tahun setelah diterbitkannya list tersebut,” tulis perwakilan Komisi HAM PBB di Jenewa, Swiss" (Sumber Jubi: Sabtu (29/8/2020).

List of issues prior to submission of the second periodic report of Indonesia itu diterbitkan tanggal 6 Agustus 2020.

Berikut 18 isu tentang Papua dalam dokumen tersebut :

1. Perdasus No. 1/2011 tentang Hak Perempuan Papua untuk korban kekerasan dan pelanggaran HAM

2. Pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, termasuk informasi tentang jumlah korban berdasarkan etnis,khususnya Orang Asli Papua

3. Program reparasi untuk keluarga korban dan status hukum terakhir dari kasus Paniai (2014),Wasior (2001) dan Wamena (2003).

4. Langkah-langkah yang diambil untuk membentuk mekanisme independen untuk memastikan pertanggungjawaban atas tuduhan perlakuan buruk oleh penegak hukum dan petugas keamanan dari orang-orang yang ditahan

5. Langkah-langkah yang diambil untuk melindungi pengungsi, pencari suaka dan pengungsi internal, termasuk mereka yang mengungsi karena konflik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Termasuk dalam hal ini adalah : (a) langkah-langkah yang diambil untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap refoulement dan menetapkan prosedur penentuan status pengungsi; (b) data statistik tentang orang-orang yang mengungsi dan kondisi kehidupan mereka serta rencana untuk memantau dan membantu kepulangan mereka; dan (c) tindakan yang diambil untuk mencegah penyebaran COVID-19 di antara mereka.

6. Harap berikan informasi tentang upaya yang dilakukan untuk memastikan akses ke pengadilan, independensi peradilan dan peradilan yang adil

7. Semakin banyaknya kendala yang terjadi dalam konteks debat akademik, keterlibatan politik atau kegiatan serupa, termasuk pelarangan topik penelitian tertentu di perguruan tinggi, seperti isu yang berkaitan dengan Papua,

8. Dugaan pembatasan akses jurnalis asing ke Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk informasi tentang upaya untuk menjamin dan mempromosikan kebebasan pers;

9. Kekhawatiran bahwa kriminalisasi pencemaran nama baik dan penerapan sewenang-wenang ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUHP, termasuk tentang makar, informasi hoax, dan hasutan permusuhan, digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.

10. Pemadaman sebagian internet di Provinsi Papua dan Papua Barat pada bulan Agustus dan September 2019.

11. Kekhawatiran bahwa pasal 106 dan 110 KUHP digunakan untuk membatasi ekspresi yang sah dari hak berkumpul secara damai;

12. Kekhawatiran bahwa polisi tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan sebagai tanggapan atas surat pemberitahuan demonstrasi yang disampaikan oleh penyelenggara protes dan menggunakan tidak diterbitkannya surat pemberitahuna ini untuk membatasi pelaksanaan hak berkumpul secara damai, khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat;

13. Penggunaan kekuatan yang berlebihan untuk membubarkan demosntrasi damai, termasuk protes pada bulan Agustus dan September 2019 di Suyabaya, Malang dan kota-kota di seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat serta dalam protes pasca pemilihan pada Mei 2019

14. Penjelasan tentang tata cara pembentukan partai politik lokal di Provinsi Papua dan Papua Barat terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

15. Informasi tentang kesesuaian dengan Kovenan hukum dan tindakan lain yang diambil sehubungan dengan seruan untuk referendum dan penentuan nasib sendiri di Papua dan protes tanpa kekerasan yang menganjurkan alasan yang sama, termasuk tentang penggunaan kejahatan makar (makar) di bawah pasal 106 dan 110 KUHP.

16. Informasi mengenai laporan yang menuduh bahwa milisi dan kelompok nasionalis telah secara aktif terlibat dalam tindakan kekerasan di provinsi Papua dan Papua Barat serta tindakan yang diambil oleh pihak berwenang untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia semacam itu.

17. Langkah-langkah yang diambil untuk mencegah dan memberantas diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua oleh aktor non-negara dan lembaga pemerintah, termasuk polisi, militer dan lembaga peradilan pidana.

18. Data demografi dan sensus yang dipilah berdasarkan latar belakang adat / etnis untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dan rencana untuk menerbitkan hasil sensus 2020.

Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

"Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua" (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Solusi persoalan Papua yang lebih bermartabat ialah Menteri Dalam Negeri mendukung pernyataan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 untuk bertemu dengan Kelompok Pro-Refrendum untuk menemukan jalan penyelesaian yang lebih bermatabat dan berprospek keadilan dan kedamaian ialah Pemerintah RI dengan Benny Wenda Ketua ULMWP untuk duduk setara dan berunding tanpa syarat dimediasi pihak ketiga yang netral seperti contoh Pemerintah RI menjadikan GAM Aceh sebagai mitra dialog damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.

Demikian surat terbuka ini. Terima kasih. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, 
Minggu, 14 Februari 2021
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP),
Dr. Socratez Yoman, MA
Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
Anggota Resmi: Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).

Tabroni Minta Keabsahan Ijasahnya Tidak Dipolitisir


SUARA.NABIRE - Ditemui usai memenuhi panggilan KPU Nabire guna mengklarifikasi keabsahan ijazahnya pada Rabu (16/09/20), bakal calon wakil Bupati Nabire, Tabroni Bin M Cahya, menegaskan bahwa ijasah yang dimilikinya adalah sah dan tidak perlu dipolitisir

"Ijasah saya sah. Apalagi yang mau dipersoalkan? Ijasah saya jelas tertulis dari kepala dinas Pendidikan kabupaten Nabire yang lama pada waktu itu," demikian ditegaskan Tabroni kepada awak media ini.

Menurutnya, pada waktu itu keabsahan ijasahnya sudah jelas tertulis dan di baca sehingga semua pihak pun sudah mendengar serta melihatnya sendiri dan hal ini tidak perlu dipersoalkan lagi.

"Terus apalagi yang mau dipersoalkan? Kalo ada hal-hal lain, ini sifatnya politik. Jadi tetap kita tidak boleh terpancing," terangnya.

Tabroni mengatakan pula bahwa pihaknya tetap akan menjaga situasi agar tetap kondusif serta tetap akan mengikuti protokol kesehatan dalam situasi pandemi covid-19

"Jadi, kita tinggal tunggu jawaban tertulis saja. Yang jelas dalam pertemuan tadi ada Bawaslu, ada KPU, ada Tim kita, ada dari PKBM separuh. Dari tadi kami bertanya, bahwa ijasah ini sah atau tidak? Ijasah sah. Ya sudah toh, apalagi yang mau diperpanjang," ungkap Tabroni.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pertemuan yang digelar pada hari Rabu 16 September 2020 tersebut, Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P) Kabupaten Nabire sudah memutuskan bahwa Ijazah Paket C yang dimiliki Bakal Calon Wakil Bupati Nabire, Tabroni Bin M Cahya, diakui keabsahannya.

Pengakuan keabsahan ijasah tersebut tertuang dalam Surat Keterangan nomor: 800/1935/2020 tertanda Kepala Dinas P dan P Kabupaten Nabire, Yulianus Pasang.

Hadir dalam kesempatan itu adalah kepala Dinas P dan P dan jajarannya, pihak KPU Nabire, Bawaslu Nabire, Kepala Dinas P dan P sebelumnya yang menandatangani Ijazah Tabroni, Briur Wenda, Kepala Pengelola PKBM Tunas Baru, Joice M Rumasep serta beberapa guru dan teman sekolah yang tamat di PKBM.

Dalam klarifikasi tersebut, masing-masing pihak mengutarakan pendapat, pandangan, dan pengakuan terhadap Ijazah paket C yang dimiliki Tabroni sehingga pada akhirnya dikeluarkanlah kesepakatan bersama tentang keabsahan ijasah yang dimiliki Tabroni usai klarifikasi.

Selain pengakuan dari Kepala Dinas P dan P, pernyataan keabsahan ijasah Tabroni juga datang dari Sekretaris Dinas P dan P dan Kabid PLS, Dominikus Adi. Ketiganya senada mengakui Ijazah Paket C Tabroni, namun catatannya adalah soal tahun tamatan (2013) yang ikut Ujian Nasional cuma 10 PKBM, tidak termasuk asal PKBM ijazah terkait.

Ketika dikonfirmasi awak media ini, pengelola PKBM Tunas Baru, Lowice Marselina Rumaseb, S.Pd, mengaku bahwa PKBM miliknya sudah di didirikan sejak tahun 2008, dan pada setiap tahun pihaknya selalu ikutkan Ujian Nasional baik paket A, B dan paket C.

Terkait Tahun Ajaran 2012/2013 yang dipersoalkan, Lowice menjelaskan bahwa siswa yang ikut pada saat itu adalah sebanyak 11 siswa.

"Dinyatakan lulus sebanyak 6 siswa, yang termasuk di dalamnya adalah Tabroni, sedangkan yang tidak lulus adalah sebanyak 5 siswa. Karena itu, ijazah pak Tabroni adalah sah," terang Lowice

Hal yang sama ditegaskan Mantan Kepala Dinas P dan P yang menjabat saat itu, Briur Wenda. Pada kesempatan itu Wenda juga mengakui ijazah Tabroni adalah sah sebab dirinya sendiri yang menandatangani ijazah milik Tabroni ketika menjadi Kepala Dinas. (Red)

PM Israel Netanyahu Peringatkan, Iran Sedang Perluas Serangan dan Menyelimuti Israel

SUARA.NABIRE - PM Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan "Iran memperluas serangannya. Ia berusaha menyelimuti Israel. Saya ulangi di sini sekali lagi: Kami tidak akan pernah membiarkan Iran mengembangkan senjata nuklir."

Presiden Iran Hassan Rouhani mengumumkan mereka akan mulai menyuntikkan gas uranium ke "lebih dari seribu sentrifugal di fasilitas nuklir yang dibangun di dalam gunung".

Selama 40 tahun terakhir, para penguasa Iran telah mengancam untuk menghancurkan Israel.

Holocaust kedua tampaknya tidak mengganggu para pemimpin Eropa yang mendukung Iran. Pemerintah Kanselir Jerman Angela Merkel telah menyatakan bahwa seruan Iran untuk melenyapkan Negara Israel bukanlah ungkapan antisemitisme.

Para pemimpin di Eropa termasuk negara-negara seperti Perancis, Inggris dan Jerman dengan Iran menentang upaya Trump untuk mengubah perjanjian nuklir.

Rezim teroris Iran telah membiayai dan mempersenjatai Hamas, Jihad Islam dan Hizbullah dengan ratusan ribu rudal dan sekarang mendorong Timur Tengah ke dalam perang dengan memerintahkan teroris di Gaza dan Lebanon untuk meluncurkan rudal di Israel.

Selama bertahun-tahun, Israel telah memperingatkan komunitas internasional tentang upaya Iran untuk menyelundupkan senjata canggih melalui Irak dan Suriah ke Libanon untuk mengancam keberadaan Israel.

Silakan tonton dan bagikan video ini!

Erich Fromm: Ironi Manusia Adalah Menjadi Binatang Sekaligus Manusia



Erich Fromm dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1900, di daerah Frankfurt am Main, Jerman. Fromm adalah anak satu-satunya dari orang tua Yahudi Ortodoks yang memulai studi akademisnya pada tahun 1918 di University of Frankfurt, am Main, dengan 2 semester yurisprudensi.

Pandangan Fromm tentang manusia adalah optimistik. Fromm melihat kepribadian sebagai suatu produk kebudayaan. Dia percaya bahwa kesehatan jiwa harus didefinisikan menurut bagaimana baiknya masyarakat menyesuaikan diri dengan kebutuhan dasar semua individu dan bukan menurut bagaimana baiknya individu–individu menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Karakter seseorang memang banyak dipengaruhi karakter-karakter sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, namun itu tidaklah menentukan karakter seseorang, karena setiap individu memiliki kemampuan untuk membentuk karakter kepribadian dan sosialnya sendiri.

Fromm menyatakan bahwa masyarakat yang ideal merupakan keadaan manusia yang tergantung pada manusia lainnya. Hal itu ditandai dengan adanya cinta, persaudaraan, serta solidaritas setiap manusia dalam lingkungan sosial. Apakah suatu kepribadian itu sehat atau tidak sehat, akan tergantung pada kebudayaan yang membantunya atau yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan manusia yang positif.

Ironi Kebebasan Manusia
Pandangan Fromm tentang kehidupan manusia adalah sebuah ironi. Kekejian, materialisme, serta beragam manifestasi dari seperangkat sifat-sifat vulgar manusia lainnya, menurut Fromm, tak lain merupakan bentuk pelarian seseorang dari kebebasan.

Pandangan ini sebenarnya merupakan bekas jejak memori pemikiran Fromm yang banyak dipengaruhi berbagai kejadian dan pengalamannya di masa muda. Ketika Fromm berumur 12 tahun, dia pernah menyaksikan secara langsung seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, melakukan bunuh diri. Akibat kejadian ini, jiwa Fromm terguncang. Fromm melihat realitas ini sebagai sesuatu yang menakutkan, karena kejadian itu tidak ada seorang pun memahami mengapa wanita tersebut memilih mati bunuh diri.

Fromm juga dilahirkan sebagai anak dari kedua orangtua yang neurotis. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Hidup dalam satu keluarga yang penuh ketegangan, akibatnya Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat.

Ketika berumur 14 tahun, Fromm sempat melihat irasionalitas melanda negara Jerman. Tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman menjadi ultranasionalis, terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit, histeris dan tergila-gila. Orang-orang dekatnya menjadi terpengaruh; saudaranya, teman-teman dan kenalannya, sampai seorang guru yang sangat Fromm kagumi. Akhirnya banyak dari mereka meninggal di parit-parit perlindungan. Fromm heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Karena berbagai peristiwa inilah, kehidupan muda Fromm merupakan lapangan hidup untuk observasinya terhadap tingkah laku jenis neurotis.

Dari pengalaman yang membingungkan dan mencengangkan, Fromm memahami kodrat manusia dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga, hal itu adalah akibat kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis, yang secara masif mempengaruhi kodrat kepribadian insan manusia.

Dalam pandangan Fromm, individu adalah entitas yang terisolasi karena dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Hal ini terangkum dalam karyanya yang pertama: Escape from Freedom (1941). Dalam buku ini Fromm mengajukan tesisnya bahwa manusia seiring dengan perkembangan peradaban, akan menjadi semakin bebas. Namun, kebebasan manusia ini justru membuat mereka makin merasa kesepian (being lonely).

Kebebasan menjadi keadaan negatif yang membuat manusia melarikan diri. Manusia gamang dan takut dengan kebebasan yang sebenarnya tak memberi jaminan dan kepastian. Jawaban dari ketakutan akan kebebasan tersebut terwujud dalam dua pilihan. Pertama, semangat akan cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Kedua, manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa, yang kemudian mereka pun bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Dalam buku-buku Fromm diantara tahun 1947, 1955, 1964, mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat suatu ‘kontradiksi dasar’. Kontradiksi ini mengandung maksud bahwa manusia merupakan bagian tetapi sekaligus terpisahkan dari alam, yang merupakan binatang yang sekaligus manusia. Sebagai binatang, individu memiliki kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, individu memiliki kesadaran diri, pikiran, perasaan, dan khayalan.

Pengalaman khas manusia meliputi: perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma.

Karena itu, setiap kelompok masyarakat yang diciptakan manusia, entah yang termanifestasikan dalam bentuk-bentuk feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya itu semata-mata hanya menunjukkan usaha manusia untuk menciptakan jalan tengah atas kontradiksi tersebut.

Necrophilous atau Biophilous?
From melalui bukunya berjudul “The Heart of Man” (1964), memperkenalkan dua bentuk karakter manusia, yaitu: karakter necrophilous dan biophilous.

Tipe karakter necrophilous merupakan karakter yang destruktif. Nekrophilia memperlihatkan perilaku destruktif dengan mengekspolitasi dan merusak orang lain atau benda–benda, serta alam lingkungan. Mereka adalah tipe yang tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian.

Mereka yang memiliki karakter tipe ini umumnya adalah rasialis, teroris, penghasut, pembunuh, dan penyiksa orang berdosa. Nekrophilia juga sangat dekat dan sangat mengagungkan teknologi. Mereka ini biasanya menggunakan teknologi untuk menciptakan kekerasan seperti: membuat nuklir atau instrumen–instrumen yang menyebabkan kematian makluk hidup lainnya. Contoh orang yang memiliki tipe karakter ini sangat banyak di muka bumi ini, diantaranya adalah: Adolf Hitler dan Sadam Husein, Osama bin Laden.

Tipe karakter biophilous memiliki kemiripan dengan orientasi produktif. Orang-orang dengan tipe ini tertarik untuk bertumbuh, berkarya, dan membangun. Mereka mencoba untuk mempengaruhi orang lain dengan cinta dan syarat, bukan dengan kekuasaan dan kekuatan. Mereka peduli dengan perkembangan dirinya dan orang lain, dan pandangan mereka jauh ke depan. Pada prinsipnya orang yang memiliki tipe ini bisa kita katakan sebagai pejuang kemanusiaan (mereka yang menutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi). Salah satu contoh orang tipe ini adalah Martin Luther King Jr.adalah seorang pendeta dan aktivis Amerika yang menjadi juru bicara dan pemimpin dalam gerakan hak-hak sipil pada tahun 1955.

Oleh Abdy Busthan

Dikotomi Mayoritas dan Minoritas, Oleh: Abdy Busthan,



Sesungguhnya dalam konstitusi Indonesia, hanya ada satu nomenklatur yang digunakan untuk menyatakan kesamaan dan kesetaraan, yaitu “warga negara” Indonesia. Artinya bahwa apapun bentuk status dan kedudukan sosial serta latarbelakang suku, agama, ras dan lain sebagainya, yang dimiliki oleh seseorang, maka kedudukannya sebagai warga negara juga “setara” dengan kedudukan orang-orang lain yang berada disekitarnya.

Fakta ini ingin menegaskan bahwa konstitusi negara kita tidak mengakui adanya penempatan atau pengelompokan perbedaan ukuran dalam jumlah takaran-takaran seperti: besar-kecil, tinggi-pendek, hitam-putih, bahkan mayoritas-minoritas.

Namun pemahaman akan kesetaraan warga negara ini, sepertinya selalu menjadi jajanan menggiurkan bagi segelintir elit politik dalam gelaran pesta demokrasi di republik kita tercinta. Sebut saja jargon-jargon kampanye yang berbunyi “larangan” memilih pemimpin dari kalangan agama minoritas, atau dari suku di luar daerah tertentu, dan lain sebagainya. Tentunya fenomena “mayoritas-minoritas” ini sudah menjadi konsumsi melezatkan yang sejak lama selalu mewarnai semua jalannya pesta demokrasi di negara tercinta kita, Indonesia.

Karenanya maka jika harus mengatakan secara jujur dan apa adanya, istilah mayoritas-minoritas ini adalah sebuah pemahaman politik. Hal ini hanya bisa ditemukan melalui Pemilu dalam pesta demokrasi. Misalnya, sekarang ini PDI-P adalah mayoritas. Tetapi di lain waktu bisa saja partai lain yang menjadi mayoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Dikotomi
Dengan terus-menerus menonjolkan dikotomi dari istilah mayoritas-minoritas, maka secara tidak langsung, penduduk di sekat-sekat menurut ras, suku, agama, dll. Ini adalah sesuatu yang apartheid, dan karena itu tidak sehat dalam interaksi sebagai warga negara.

Kita semua dilindungi oleh konstitusi. Bukan yang mayoritas melindungi yang disebut minoritas. Sudah tentu jika kita makin dewasa di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita semua akan tenggang rasa satu sama lain.

Tetapi tenggang rasa saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan sosial. Hal utama yang seharusnya dipahami adalah, bahwa pengertian minoritas-mayoritas itu relatif-subjektif. Misalnya saja di daerah A kelompok Anda bisa mayoritas, tetapi di daerah B bisa saja kelompok Anda menjadi minoritas.

Itulah persisnya konstelasi Indonesia. Seseorang yang beragama Kristiani sudah tentu menjadi mayoritas di Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi ia tentu akan menjadi kelompok minoritas di pulau Jawa. Sebaliknya, mereka yang beragama Islam akan menjadi mayoritas di Jawa, tetapi di NTT dan Papua mereka akan menjadi minoritas.

Hal lainnya bahwa pemahaman minoritas-mayoritas tidak hanya bisa terpaku pada jumlah penduduk saja, melainkan juga pada luas wilayah dan sumbangannya bagi bangsa ini dari segi hasil bumi dan kekayaan. Maka dalam hal ini Papua adalah mayoritas, sedangkan Jawa bisa saja minoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Negara
Berbicara soal “mayoritas” dan “minoritas”, hanya terdapat satu pertanyaan menggelitik yang dapat dijadikan rujukan untuk lebih dalam memahami hubungan dari keduanya.

Pertanyaannya, bagaimana memadukan antara kepentingan mayoritas yang sekaligus juga dapat melindungi hak-hak minoritas? Atau dengan meminjam istilah teoriawan politik dan sosial asal Norwegia, Jon Elster (1993), bahwa bagaimana kita membangun keseimbangan antara majority rule dan individual rights?

Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah. Persoalan relasi mayoritas dan minoritas tidak cukup hanya berkutat pada salah satu diantara keduanya saja. Ia melibatkan dua hal penting, yaitu kesiapan kultur mayoritas sebagai subyek utama dan konstitusi negara.

Dalam negara demokrasi, istilah mayoritas dan minoritas seharusnya tidak ada. Namun antara ada dan tiada, maka ia selalu ada sebagaimana adanya!

Ya, hampir setiap hari di medan merdeka ini, selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas ini. Esensinya adalah agar mayoritas melakukan toleransi dan perlindungan terhadap minoritas, atau seruan bernada propokatif seperti pemusnahan dan pengkerdilan hak-hak kaum minoritas, dll.

Mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua bentuk. Ada mayoritas dan minoritas yang di lihat dari jumlah, ada mayoritas dan minoritas dari segi potensi dan peranan di Indonesia.

Biasanya jika menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi, maka artinya adalah pribumi. Sedangkan ditinjau dari segi keagamaan, maka yang dimaksudkan adalah umat Islam. Dan selebihnya dari itu disebut minoritas.

Sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan adat istiadat, ragam kelompok minoritas di Indonesia dengan sendirinya juga beragam. Ada minoritas etnis, minoritas ras, minoritas agama, dsb. Bahkan di dalam kelompok agama sendiri, ada minoritas aliran atau madzhab, minoritas penganut kepercayaan, dan lain-lain.

Dari sekian banyaknya kelompok minoritas seperti disebutkan sebelumnya, keberadaan jenis minoritas agama adalah yang paling problematik, terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan keyakinan. masing-masing.

Dalam bentangan lingkaran sejarah bangsa dan negara Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok minoritas sering mendapat perlakuan diskriminasi yang tidak adil. Meskipun secara konstitusional negara Indonesia memberi jaminan terhadap keberadaan kelompok minoritas. Tapi faktanya banyak kelompok yang tidak bebas dan bisa leluasa mengamalkan dan mengembangkan asas-asas agama dan keyakinan yang diyakininya.

Hingga hari ini, sejumlah tindakan penindasan dan kekerasan terhadap aktivitas beragama masih terus saja menghiasi wajah bopeng akibat benturan kaum mayoritas dan minoritas di medan merdeka ini. Ironisnya, munculnya perlakuan diskriminatif ini justru digerakkan oleh para Pemuka Agama yang notabene merupakan figura yang harus diguguhi dan diteladani. Tapi malah justru mendakwah kepada segelintir kelompok-kelompok mayoritas untuk memusuhi dan meminggirkan kelompok minoritas.

Perlakuan seperti ini terjadi dalam beberapa wujud seperti: klaim penyesatan dengan sebutan "kafir" terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan lain, penutupan tempat-tempat ibadah, larangan mengembangkan dan mendakwahkan keyakinan, hingga pembatasan hak-hak politik dan akses ekonomi, dan lain sebagainya.

Salah satu kelompok minoritas yang akhir-akhir ini sering mengalami perlakuan diskriminatif dan kerap menjadi sasaran amuk masa kaum mayoritas adalah umat Kristiani. Di berbagai titik di Indonesia, keberadaan umat Kristiani memang terus terancam. Bukan hanya tidak bisa mengamalkan keyakinannya, umat Kristen tak sedikit yang terpaksa kehilangan harta, tempat tinggal dan sarana ibadah, bahkan nyawanya.

Harus dipahami, bahwa negara Indonesia bukan negara agama mayoritas, negara tidak mengakui salah satu agama mayoritas sebagai satu-satunya negara resmi. Indonesia juga bukanlah sebuah negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada falsafah Pancasila.

Semua ajaran agama dengan masing-masing pemeluknya, harus diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan dan diutamakan di republik ini. Karena itu, pemisahan urusan negara dengan urusan agama tidak otomatis akan menjadikan negara sebagai negara sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara dalam mengurus agama, juga tidak otomatis menjadikan negara sebagai sebuah negara agama.

Diskriminasi Oleh Mayoritas
Kehidupan berbangsa saat ini memang teramat sulit memaknai “kerukunan” dalam artinya yang sebenarnya. Seharusnya hidup dalam kerukunan dengan aneka macam perbedaan suku, budaya dan agama, adalah sesuatu yang indah. Sebab antara mayoritas dan minoritas bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Meminjam Yewangoe (2011:32) bahwa, kerukunan tentu saja bukan masalah praksis semata-mata. Ia juga merupakan ungkapan dari keyakinan dan iman seseorang. Artinya, dengan mengimani dasar agamanya masing-masing, maka dalam praktik hidup berbangsa, kaum mayoritas dan kaum minoritas bisa saling menghargai, dan jauh dari kecurigaan dan diskriminasi yang berkepanjangan, sehingga terbentuklah kerukunan.

Namun sangat disayangkan, perlakuan diskriminatif sering dirasakan pemeluk agama minoritas (agama Kristen) di republik tercinta ini. Ini ditandai dengan maraknya perlakuan-perlakuan diskriminasi yang tentunya dilakukan agama mayoritas.

Beberapa diantaranya seperti disebutkan sebelumnya bahwa munculnya pemuka agama yang mendiskriminasi pemeluk agama lain dengan sebutan kafir, pembubaran ibadah umat, juga tragedi pemboman tempat-tempat ibadah, serta tindakan pelarangan dan pendirian, sekaligus penutupan rumah-rumah ibadah. Seperti nyata terlihat dalam kasus-kasus pemboman Gereja di Samarinda, pembubaran Ibadah di Sabuga Bandung pada tahun 2016 misalnya.

Tempat beribadah, memang salah satu tempat favorit yang menjadi sasaran amarah mayoritas. Dalam banyak kasus penutupan serta kasus penyegelan tempat ibadah, terkadang merembet pula kepada fasilitas lainnya, misalnya sekolah, sekretariat yayasan yang dianggap memiliki afiliasi terhadap agama tertentu, dll.

Tempat beribadah umat minoritas Kristen adalah yang paling sering mendapatkan perlakuan semacam ini. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mulai dari alasan izin pendirian tempat ibadah yang dinilai belum lengkap, ketiadaan persetujuan warga sekitar atas keberadaan tempat tersebut, hingga alasan lain seperti menganggu ketertiban umum. Alasan-alasan seperti ini justru tidak beralasan.

Munculnya ketegangan relasi antara mayoritas dan minoritas, sebenarnya terkait dengan pergeseran orientasi masyarakat dalam menyikapi perbedaan saja. Perbedaan masih dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Hal ini sebetulnya tidak lepas dari “politik penyeragaman” atau “politik homogenisasi” yang efektif dijalankan pada rezim Orde Baru (Orba), yaitu dengan sebisanya aneka perbedaan ditekan seminimal mungkin, dan dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan lagi.

Politik SARA, adalah politik Orde Baru yang sangat efektif dalam menutup rapat perbincangan mengenai ‘perbedaan’ di masyarakat. Maka ketika rezim yang berkuasa tumbang, akhirnya masyarakat pun kurang siap mendialogkan dan mengelola perbedaan tersebut. Akibatnya, di sana-sini muncul keterkejutan berjamaah atas keragaman yang sejatinya telah ada sejak lama di sekitar mereka.

Mayoritas Islamisme
Munculnya penguatan identitas keagamaan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini, juga menandai bangkitnya apa yang oleh Oliver Roy (1996, 2004) sebutkan sebagai “Islamisme”, yaitu sebuah gerakan yang kembali menguat terutama di daerah Timur Tengah dan yang segera meluas ke seluruh penjuru wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Ada dua jenis atau tipe Islamisme: moderat dan liberal. Kelompok pertama, mengupayakan dan membela posisi Islam politik yang reformis. Sementara yang kedua, getol menggunakan cara-cara revolusioner untuk bisa menggulingkan rezim yang berkuasa dan menggantikan ideologi negara dengan ideologi Islam.

Bagi kelompok Islamis, lewat jalur aksi sosial dan politik secara bersamaan, masyarakat dapat diislamkan. Di negara Indonesia, jumlah kelompok ini terbilang kecil dibandingkan kelompok Muslim kultural. Tetapi militansi dan kreativitas dari aktivisnya dalam mengemas program serta kekuatan jaringan yang dimiliki, menjadikan kelompok Islamis sebagai sebuah kelompok gerakan keagamaan yang tak bisa diremehkan.

Sementara organisasi keagamaan yang tergolong lebih moderat, seperti misalnya NU dan Muhammadiyah, terkadang disibukkan pula oleh urusan internal organisasi dan kurang menawarkan inovasi-inovasi baru dalam dakwah. Keberadaan kelompok-kelompok Islamis ini akan semakin menguat ketika bergandengan tangan dengan para politisi yang ingin memanfaatkan isu-isu agama sebagai bagian dari upaya mendongkrak kepentingan partai politik.

Dalam pertarungan perpolitikan di tanah air, memang para politisi kerapkali menyeret agama untuk kepentingan mendulang suara. Dengan populasi lebih dari 80%, umat Islam merupakan massa riil yang diperebutkan oleh banyak partai-partai. Dan untuk meraih simpati, sentimen agama dan penggunaan isu-isu keagamaan menjadi daya pikat bagi para pemilih terutama pemilih pemula. Fenomena seperti ini dapat dengan mudah dijumpai pada maraknya kontestasi simbol-simbol agama di ruang publik.

Memang bukan suatu rahasia umum lagi, ketika para politikus doyan mengusung simbol-simbol agama. Seolah hal ini menjadi trend para politisi lokal maupun nasional dalam meraih simpatisan massa. Dalam kasus pemilihan kepala daerah misalnya, banyak sekali kandidat dan tim sukses yang mengusung simbol-simbol agama dalam kampanye mereka. Di sinilah problem minoritas kerap kali muncul. Karena secara kuantitas kecil, maka suara kelompok minoritas ini tidak diperhitungkan sama sekali.

Identitas Mayoritas Kedaerahan
Kontestasi simbol agama memang bukan hanya berkutat pada karakteristik Islam semata. Hal ini juga sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Pada daerah-daerah di mana agama Islam sebagai mayoritas, maka isu-isu keislaman akan banyak ditonjolkan. Sementara pada daerah-daerah minoritas seperti di wilayah NTT atau Papua, di mana warga Kristen yang lebih dominan, maka identitas Kristen yang menonjol.

Demikian halnya ketika di Bali, maka simbol kehinduan yang mengemuka. Penguatan identitas keagamaan seperti ini terkadang bersaing dengan identitas etnis, isu pribumi (warga asli) dan non-pri (warga pendatang). Isu minoritas pendatang yang sukses dengan mayoritas pribumi yang tertindas juga kerap mengemuka pada momen-momen politik di daerah. Salah satu yang hangat akhir-akhir ini adalah upaya pencekalan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terindikasi sebagai warga pendatang dan berasal dari agama minoritas.

Narasi-narasi masa lalu, baik yang berupa kejayaan pribumi maupun ketertindasan (grievances), selanjutnya sengaja dibangkitkan untuk mendukung dan menyatukan jumlah massa mayoritas yang sudah lama mengambang. Biasanya pemisahan masyarakat semacam ini, lebih efektif untuk bisa mengantarkan salah satu calon menuju puncak pimpinan. Perkembangan selanjutnya bisa di duga, tetap saja kelompok mayoritas akan menguasai, sementara minoritas hanya selalu tersubordinasi.

Oleh: Abdy Busthan
Tulisan ini diambil dari buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"

Yang berminat, kontak 081333343222 (WA)