Demikian penegasan para Kepala Suku dan Tokoh Adat Kabupaten Nabire kepada sejumlah awak media pada hari Sabtu (24/04/21) sore, di Rumah Makan Sari Kuring yang terletak di Jln. Kupang, Kali Susu kota Nabire.
Adapun para Kepala Suku atau Tokoh Adat tersebut adalah sebagai berikut:
- Kepala Suku Besar Wate: Alex Raiki
- Kepala Himpunan Dewan Adat Suku Mee di Nabire: Permianus Fery Youw.
- Kepala Suku Yaur: Saul Waiwoi.
- Kepala Suku Moora: Donatus Yacob Sembor.
- Ketua Badan Musyawarah Adat Kabupaten Nabire: Agus Rumatrai.
- Anggota Luar Biasa Badan Musyawarah Adat Kabupaten Nabire: Wartanoi Hubert.
- Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Nabire: Karel Misiro.
- Kepala Suku Besar Dani, Damal, Dauwa, Nduga (D3N): Ayub Wonda.
- Kepala Sub Suku Wate Kampung Oyehe: Yohan Wanaha.
Kepala Himpunan Dewan Adat Suku Mee di Nabire, Fery Youw, mengatakan bahwa para tokoh adat telah kecewa dan sangat menyayangkan kinerja Komisioner dua lembaga penyelengara Pemilu di Nabire tersebut.
"Sebab mereka (penyelenggara: KPU dan Bawaslu) tidak menunjukkan hasil yang maksimal dan hanya menghabiskan anggaran 56 milyar pada Pilkada untuk menghasilkan PSU," tutur Fery Youw.
Youw menambahkan bahwa jika penyelenggara bekerja degan baik, maka tidak perlu ada PSU. "Tapi karena sebaliknya hanya membuang anggaran daerah," tegas Youw
Pada tempat yang sama, Anggota Luar Biasa Badan Musyawarah Adat Kabupaten Nabire, Wartanoi Hubert, juga mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap penyelenggara hingga menyebabkan PSU .
"Penyelenggara sendiri telah diperkarakan di DKPP. Namun yang tidak memuaskan adalah DPPP tidak memberhentikannya, malahan hanya menjatuhkan sanksi teguran keras," ujar Wartanoi.
Sehingga lanjut Wartanoi, yang diinginkan oleh tokoh masyarakat berdasarkan masukan dari warganya, agar PSU tidak dilaksanakan oleh Komisioner dari KPU dan Bawaslu Nabire, akan tetapi dilaksanakan langsung oleh KPU RI dan Bawaslu Provinsi Papua.
“Kami kecewa dengan DKPP RI yang hanya memberikan sanksi teguran. Sehingga andai PSU tidak dilaksanakan oleh Pusat dan Provinsi, maka sebagian diganti dengan daftar tunggu, dan yang lamai disingkirkan. Kalau tidak, maka bila terjadi gejolak di masyarakat, kami tidak mau bertanggungjawab atau melerai nantinya,” demikian diingatkan Wartanoi.
Senada dengan itu, Yohanes Wanaha, selaku Kepala sub Suku Wate kampung Oyehe, Distrik Nabire, menambahkan bahwa dengan pernyataan para Kepala atau Tokoh Adat maka sangat jelaslah penolakan terhadap penyelenggara PSU oleh Komisioner KPU dan Bawaslu Nabire.
Dikatakan Wanaha bahwa pihaknya sudah melayangkan surat kepada Pemerintah Daerah dan KPU Provinsi Papua sehingga saat ini hanya menunggu tanggapan balik dari KPU Provinsi Papua. "Pernyataan sikap kami secara tertulis sudah disampaikan kepada Penjabat Bupati, Kapolres, Dandim, Kajari termasuk anggota KPU Propinsi Papua,” jelas Wanaha.
Kendati demikian, Wanaha mengatakan bahwa para Tokoh Adat tetap menghargai amar putusan Mahkamah Konstitusi, namun menolak keputusan DKPP. Sebab DKPP hanya menyampaikan amar putusan dengan memberikan peringatan tegas kepada KPU dan Bawaslu Nabire.
Maka menurutnya, yang dilakukan saat ini adalah menunggu dan mempertanyakan jawaban dari Pemerintah Daerah. Sebab pada intinya para Tokoh Adat mewakili masyarakatnya sudah menolak penyelenggara.
“Karena kami mengganggap bahwa dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara tidak relevan bekerja dan terbukti melanggar aturan,” pungkas Wanaha
Ditegaskannya bahwa pernyatan tersebut bukan atas dasar kepentingan ataupun keberpihakan kepada kandidat tertentu. Tetapi murni aspirasi yang disampaikan oleh Tokoh Adat setelah menerima masukan dari warganya.
“Kami tidak bicara untuk kepentingann probadi, tetapi umum. Dan tidak ada untuk kepentingan kandidat, klu soal kandidat itu urusan pribadi” demikian tutup Yohanes Wanaha mewakili para Tokoh Adat di Kabupaten Nabire. (Red)
Pada tempat yang sama, Anggota Luar Biasa Badan Musyawarah Adat Kabupaten Nabire, Wartanoi Hubert, juga mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap penyelenggara hingga menyebabkan PSU .
"Penyelenggara sendiri telah diperkarakan di DKPP. Namun yang tidak memuaskan adalah DPPP tidak memberhentikannya, malahan hanya menjatuhkan sanksi teguran keras," ujar Wartanoi.
Sehingga lanjut Wartanoi, yang diinginkan oleh tokoh masyarakat berdasarkan masukan dari warganya, agar PSU tidak dilaksanakan oleh Komisioner dari KPU dan Bawaslu Nabire, akan tetapi dilaksanakan langsung oleh KPU RI dan Bawaslu Provinsi Papua.
“Kami kecewa dengan DKPP RI yang hanya memberikan sanksi teguran. Sehingga andai PSU tidak dilaksanakan oleh Pusat dan Provinsi, maka sebagian diganti dengan daftar tunggu, dan yang lamai disingkirkan. Kalau tidak, maka bila terjadi gejolak di masyarakat, kami tidak mau bertanggungjawab atau melerai nantinya,” demikian diingatkan Wartanoi.
Senada dengan itu, Yohanes Wanaha, selaku Kepala sub Suku Wate kampung Oyehe, Distrik Nabire, menambahkan bahwa dengan pernyataan para Kepala atau Tokoh Adat maka sangat jelaslah penolakan terhadap penyelenggara PSU oleh Komisioner KPU dan Bawaslu Nabire.
Dikatakan Wanaha bahwa pihaknya sudah melayangkan surat kepada Pemerintah Daerah dan KPU Provinsi Papua sehingga saat ini hanya menunggu tanggapan balik dari KPU Provinsi Papua. "Pernyataan sikap kami secara tertulis sudah disampaikan kepada Penjabat Bupati, Kapolres, Dandim, Kajari termasuk anggota KPU Propinsi Papua,” jelas Wanaha.
Kendati demikian, Wanaha mengatakan bahwa para Tokoh Adat tetap menghargai amar putusan Mahkamah Konstitusi, namun menolak keputusan DKPP. Sebab DKPP hanya menyampaikan amar putusan dengan memberikan peringatan tegas kepada KPU dan Bawaslu Nabire.
Maka menurutnya, yang dilakukan saat ini adalah menunggu dan mempertanyakan jawaban dari Pemerintah Daerah. Sebab pada intinya para Tokoh Adat mewakili masyarakatnya sudah menolak penyelenggara.
“Karena kami mengganggap bahwa dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara tidak relevan bekerja dan terbukti melanggar aturan,” pungkas Wanaha
Ditegaskannya bahwa pernyatan tersebut bukan atas dasar kepentingan ataupun keberpihakan kepada kandidat tertentu. Tetapi murni aspirasi yang disampaikan oleh Tokoh Adat setelah menerima masukan dari warganya.
“Kami tidak bicara untuk kepentingann probadi, tetapi umum. Dan tidak ada untuk kepentingan kandidat, klu soal kandidat itu urusan pribadi” demikian tutup Yohanes Wanaha mewakili para Tokoh Adat di Kabupaten Nabire. (Red)
Tidak ada komentar
Posting Komentar