BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

header-ad

Ini Isi Surat Terbuka Dr. Socratez Yoman Kepada Mendagri di Jakarta

SUARA.NABIRE l Menanggapi pernyataan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang tidak menutup akses ke Papua, dan dianggap melanggar pencegahan penyebaran virus corona, Dr. Socratez Yoman, MA., Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, mengecam keras dengan menulis surat protes terbuka kepada Mendagri. Berikut isi suratnya


Surat Terbuka

Perihal: Penguasa Indonesia Sedang Melepaskan Papua Dengan Jalan Melawan Undang-Undang Republik Indonesia

Kepada Yang Terhormat,
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Bapak Haji Dr. Tito Karnavian
Di Jakarta

Shalom!
Terima salam hangat saya dari Tanah Papua, Tanah konflik berdarah terlama atau terpanjang dalam sejarah negara-negara Asia dan Pasifik.

Saya melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh bapak sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia untuk penyelesaian persoalan konflik terlama dan berdarah-darah di Papua sejak 1 Mei 1963 yang sudah memasuki lima dekade lebih ini sangat berpotensi besar untuk disintegrasi sosial dan sekaligus disintegrasi bangsa. Sebab pendekatan penyelesaian persoalan konflik menahun (kronis) ini dengan keras dan inkonstitusional. Pendekatan yang dilakukan dengan paradigma lama yang sudah tidak relevan dengan dinamika teknologi dan informasi sekarang ini.

Menurut pemahaman saya, bahwa para penguasa Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya sedang melepaskan Papua dari wilayah Indonesia dengan melawan undang-undang Negara Republik Indonesia. Penguasa Indonesia sedang memotong tali perekat atau tali yang memegang Papua dalam wilayah Indonesia.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua adalah solusi politik, yaitu win win solution karena tuntutan Papua Merdeka dari seluruh rakyat Papua. Indonesia didukung penuh dan kuat oleh Negara-Negara Uni Eropa, Amerika, Australia, Selandia Baru, Negara-Negara Afrika dan juga Negara-Negara Asia dan Pasifik atas undang-undang Otsus.

Pada 2001, saya pernah menemani rombongan pemerintah dari Negara-Negara Uni Eropa ke Wamena dan ke Piramit. Pada waktu kami kembali bersama rombongan dari Piramit ke Wamena, dalam perjalanan, saya berbicara kepada Ketua Delegasi Ambassador De LaMato, bahwa orang asli Papua hampir 99% bahkan 100% menuntut merdeka keluar dari Indonesia. Jawaban yang diberikan kepada saya ialah "kami mendukung Otonomi Khusus dan mendukung Indonesia."

Dalam hal ini, rakyat Papua melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau lewat Dewan Gereja Papua, (WPCC), Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Dewan Gereja Dunia (WCC) berhak pertanyakan komitmen pemerintah Negara-Negara Uni Eropa yang mendukung Otonomi Khusus Papua.

Apakah Negara-Negara Anggota Uni Eropa masih mendukung Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001? Apakah Negara-Negara Anggota Uni Eropa mendukung kegagalan Otonomi Khusus Papua? Apakah Negara-Negara anggota Uni Eropa masih mendukung pemekaran provinsi-provinsi baru tanpa penduduk yang memadai dengan dana-dana pinjaman dari mereka?

Yang mulia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, bapak Tito Karnavian, kami mengerti bahwa Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 itu persoalan yang berdimensi GLOBAL atau INTERNASIONAL bukan hanya persoalan internal Indonesia. Undang-undang Otsus ini sangat berkaitan erat dengan persoalan martabat kemanusiaan orang asli Papua yang mengandung nilai-nilai universal yang tidak dibatasi dengan pemahaman kedaulatan negara dan bangsa yang sempit dan kerdil.

Perubahan Pasal-Pasal Undang-undang Otsus yang sudah membahayakan keutuhan negara Indonesia sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat 2 tentang Bendera sebagai lambang daerah dihapus dan dihilangkan;

2. Pasal 46 ayat 1 dan 2 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) telah dihapus dan dihilangkan;

3. Pasal 76 dan 77 tentang pemekaran provinsi dan evaluasi Otonomi Khusus juga dihapus dan diambil alih oleh pemerintah pusat.

Logika konstitusionalnya ialah Pemerintah Republik Indonesia sudah melepaskan Papua dari wilayah Indonesia dan rakyat Papua berhak mengatur pemerintahannya sendiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Alasannya? Pasal-Pasal krusial dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 2, Pasal 46, Pasal 76 dan Pasal 77 sebagai tali perekat atau tali yang memegang atau tali yang mengikat Papua dalam wilayah Indinesia itu sudah dilepaskan oleh penguasa Indonesia.

Yang terhormat Menteri Dalam Negeri, perlu diketahui bahwa Indonesia telah gagal di Papua dengan tiga kali experimen, sebagai berikut:

1. Indonesia telah gagal dengan experimen pada Pepera 1969. Karena Pepera 1969 dimenangkan ABRI dengan moncong senjata. Peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dari 1.025 orang dipaksa dengan moncong senjata untuk menyatakan tinggal dengan Indonesia.

Contohnya: Jenderal Ali Murtopo mengatakan kepada peserta Pepera pada 2 Agustus 1969 di Jayapura, sebagai berikut:

“Kalau mau merdeka sebaiknya tanyakan pada Tuhan apakah dia bisa berbaik hati membesarkan pulau di tengah Samudra Pasifik supaya bisa bermigrasi ke sana. Bisa juga tulis orang Amerika. Mereka sudah menginjakkan kaki di bulan, mungkin mereka akan bersedia menyediakan tempat untuk Anda di sana. Anda yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir lagi, karena jika Anda melakukannya, murka rakyat Indonesia akan menimpa Anda. Lidah Anda pasti akan dipotong dan mulut jahat Anda akan digoyak. Lalu aku, Jenderal Ali Murtopo, akan masuk dan menembakmu di tempat "(Sumber: SEE NO EVIL: New Zealand's Betrayal of the people of West Papua: Maire Leadbeater: 2018: 154)

2. Indonesia telah gagal dengan experimen Otonomi Khusus 2001 karena Pasal-Pasal Krusial UU Otsus sudah dihapus dan dihilangkan

3. Indonesia telah gagal dengan experimen UP4B. Pada tanggal 20 September 2011, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa untuk melaksanakan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dibentuk UP4B.

UP4B adalah akal-akalan dari penguasa kolonial Indonesia pada saat PBB menyatakan kegagalan Otonomi Khusus. Beberapa Negara dalam sidang umum PBB mempersoalkan kegagalan Otonomi Khusus dan pelanggaran berat HAM. Penguasa kolonial Indonesia yang dihuni oleh para pemimpin paranoid and hypocrisy ini membohongi komunitas internasional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2011 tentang UP4B.

Dari kegagalan demi kegagalan ini, penguasa Indonesia masih menggunakan pendekatan lama dengan experimen yang keempat, yaitu Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dengan gigih berjuang untuk pemekaran-pemekaran provinsi baru tanpa penduduk yang memadai, sumber daya manusia, sumber daya dana.

Akhir dari surat ini, saya sampaikan Indonesia segera menjawab 18 pertanyaan dari PBB dan menyelesaikan 4 akar persoalan Papua yang sudah ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Indonesia menjelaskan beberapa hal terkait dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam dua tahun terakhir. Permintaan ini disebutkan dalam dokumen CCPR/C/IDN/QPR/2 tentang List of issues prior to submission of the second periodic report of Indonesia.

“Indonesia diharapkan menjawab pertanyaan yang ada dalam List of issues prior to submission of the second periodic report satu tahun setelah diterbitkannya list tersebut,” tulis perwakilan Komisi HAM PBB di Jenewa, Swiss" (Sumber Jubi: Sabtu (29/8/2020).

List of issues prior to submission of the second periodic report of Indonesia itu diterbitkan tanggal 6 Agustus 2020.

Berikut 18 isu tentang Papua dalam dokumen tersebut :

1. Perdasus No. 1/2011 tentang Hak Perempuan Papua untuk korban kekerasan dan pelanggaran HAM

2. Pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, termasuk informasi tentang jumlah korban berdasarkan etnis,khususnya Orang Asli Papua

3. Program reparasi untuk keluarga korban dan status hukum terakhir dari kasus Paniai (2014),Wasior (2001) dan Wamena (2003).

4. Langkah-langkah yang diambil untuk membentuk mekanisme independen untuk memastikan pertanggungjawaban atas tuduhan perlakuan buruk oleh penegak hukum dan petugas keamanan dari orang-orang yang ditahan

5. Langkah-langkah yang diambil untuk melindungi pengungsi, pencari suaka dan pengungsi internal, termasuk mereka yang mengungsi karena konflik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Termasuk dalam hal ini adalah : (a) langkah-langkah yang diambil untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap refoulement dan menetapkan prosedur penentuan status pengungsi; (b) data statistik tentang orang-orang yang mengungsi dan kondisi kehidupan mereka serta rencana untuk memantau dan membantu kepulangan mereka; dan (c) tindakan yang diambil untuk mencegah penyebaran COVID-19 di antara mereka.

6. Harap berikan informasi tentang upaya yang dilakukan untuk memastikan akses ke pengadilan, independensi peradilan dan peradilan yang adil

7. Semakin banyaknya kendala yang terjadi dalam konteks debat akademik, keterlibatan politik atau kegiatan serupa, termasuk pelarangan topik penelitian tertentu di perguruan tinggi, seperti isu yang berkaitan dengan Papua,

8. Dugaan pembatasan akses jurnalis asing ke Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk informasi tentang upaya untuk menjamin dan mempromosikan kebebasan pers;

9. Kekhawatiran bahwa kriminalisasi pencemaran nama baik dan penerapan sewenang-wenang ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUHP, termasuk tentang makar, informasi hoax, dan hasutan permusuhan, digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.

10. Pemadaman sebagian internet di Provinsi Papua dan Papua Barat pada bulan Agustus dan September 2019.

11. Kekhawatiran bahwa pasal 106 dan 110 KUHP digunakan untuk membatasi ekspresi yang sah dari hak berkumpul secara damai;

12. Kekhawatiran bahwa polisi tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan sebagai tanggapan atas surat pemberitahuan demonstrasi yang disampaikan oleh penyelenggara protes dan menggunakan tidak diterbitkannya surat pemberitahuna ini untuk membatasi pelaksanaan hak berkumpul secara damai, khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat;

13. Penggunaan kekuatan yang berlebihan untuk membubarkan demosntrasi damai, termasuk protes pada bulan Agustus dan September 2019 di Suyabaya, Malang dan kota-kota di seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat serta dalam protes pasca pemilihan pada Mei 2019

14. Penjelasan tentang tata cara pembentukan partai politik lokal di Provinsi Papua dan Papua Barat terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

15. Informasi tentang kesesuaian dengan Kovenan hukum dan tindakan lain yang diambil sehubungan dengan seruan untuk referendum dan penentuan nasib sendiri di Papua dan protes tanpa kekerasan yang menganjurkan alasan yang sama, termasuk tentang penggunaan kejahatan makar (makar) di bawah pasal 106 dan 110 KUHP.

16. Informasi mengenai laporan yang menuduh bahwa milisi dan kelompok nasionalis telah secara aktif terlibat dalam tindakan kekerasan di provinsi Papua dan Papua Barat serta tindakan yang diambil oleh pihak berwenang untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia semacam itu.

17. Langkah-langkah yang diambil untuk mencegah dan memberantas diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua oleh aktor non-negara dan lembaga pemerintah, termasuk polisi, militer dan lembaga peradilan pidana.

18. Data demografi dan sensus yang dipilah berdasarkan latar belakang adat / etnis untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dan rencana untuk menerbitkan hasil sensus 2020.

Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

"Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua" (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Solusi persoalan Papua yang lebih bermartabat ialah Menteri Dalam Negeri mendukung pernyataan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 untuk bertemu dengan Kelompok Pro-Refrendum untuk menemukan jalan penyelesaian yang lebih bermatabat dan berprospek keadilan dan kedamaian ialah Pemerintah RI dengan Benny Wenda Ketua ULMWP untuk duduk setara dan berunding tanpa syarat dimediasi pihak ketiga yang netral seperti contoh Pemerintah RI menjadikan GAM Aceh sebagai mitra dialog damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.

Demikian surat terbuka ini. Terima kasih. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, 
Minggu, 14 Februari 2021
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP),
Dr. Socratez Yoman, MA
Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
Anggota Resmi: Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
« PREV
NEXT »

Tidak ada komentar