SUARA.NABIRE l Perdebatan publik kabupaten Nabire terkait pergantian ketua Bawaslu Nabire ditengah proses penentuan hasil Pilkada di MK, kian bergulir panas. Tidak sedikit kalangan bahkan Tokoh dan Akademisi terlibat perdebatan di Medsos. Ada yang pro, ada pula yang kontra.
Michael Mote, SH.,M.Hum., mantan Sekertaris KPU Nabire yang sejak 28 Desember 2020 menjabat sebagai Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat mengatakan bahwa pergantian ketua Bawaslu Nabire adalah lumrah dan sah-sah saja, seperti pada pergantian Ketua KPU. Sehingga hal tersebut tidak perlu diributkan.
Namun menurut Mimo, demikian sapaan akrabnya, pergantian Ketua Bawaslu harus pula disertai dasar yang tercantum dalam Perbawaslu nomor 19 tahun 2017, seperti misalnya pengundurun diri dan habis masa tugas atau diberhentikan karena bersalah.
“Jadi dasar atau alasan pergantiannya harus jelas dan mengacu pada Perbawaslu, sehingga pergantian tersebut bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Mimo ketika dikonfirmasi awak media ini via seluler pada Minggu (31/01/21).
Ditempat lainnya, Zep Nagapa, SH., M.H., seorang staf dosen di STAK Nabire, melihat pergantian tersebut terjadi secara tiba-tiba dan tidak didukung keterbukaan informasi disaat kondisi yang sangat menentukan terpilihnya Kepala Daerah hasil Pilkada Kabupaten Nabire Tahun 2020.
Menurut Nagapa, pergantian Ketua Bawaslu Nabire dari Markus Madai (MD) ke Adriana Sahempa (AS) harusnya dipublikasikan ke publik disertai dengan alasan penggantian ketua.
“Harusnya ada trasparansi, bukan menunjukkan mekanisme rapat pleno, rapat pleno kan hanya sebagai tools dalam pengambilan keputusan, tapi dasar hukum dan alasan penggantian itu apa? Atau rolling jabatan kah?,” demikian tuturnya.
Nagapa menegaskan bahwa ada parameter untuk Bawaslu tingkat Provinsi atau Kabupaten/ Kota mau melakukan pergantian posisi ketua. Diantaranya terkait keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atau karena soal integritas yang tidak bisa dipertahankan, lalu bisa juga karena ada putusan peradilan pidana yang menyangkut intergitas
“Yang membingungkan, dalam pergantian ketua Bawaslu Nabire ada semacam terjadi rooling jabatan kah? Asumsi saya penggantian ketua bawaslu dapat terjadi Jika ketua sebelumnya mengundurkan diri, misalnya yang bersangkutan melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sebagai anggota bawaslu, jika tidak, maka atas dasar apa menggantinya?,” demikian ujar Nagapa.
Jadi menurutnya, pergantian ketua Bawaslu sudah diatur dalam Perbawaslu nomor 19 tahun 2017. Sedangkan Perbawaslu nomor 5 hanya mengatur mekanisme pelaksanaan rapat pleno anggota Bawaslu dan tidak ada kaitannya dengan roling jabatan
Pada tempat terpisah, J M Ramandey, S.TP., M.Si, Pembantu Rektor II di Uswim Nabire, menyayangkan pergantian ketua Bawaslu Nabire di saat berlangsungnya sengketa Pilkada di MK.
Menurutnya, pergantian ketua bawaslu tersebut mengesampingkan asas demokrasi, dimana Bawaslu sebagai Lembaga Negara yang harusnya bertugas mengawas jalannya pelaksanaan proses Pilkada di kabupaten Nabire yang berlangsung pada 9 Desember 2020 dan bukan untuk mengawasi sengketa Pilkada di MK setelah 9 Desember 2020.
“Mana yang penting, 9 Desember ka? Atau proses MK? Bawaslu harus jawab ini. Momennya kan bukan di MK tapi 9 Desember, jadi logisnya adalah Bawaslu pusat maupun Bawaslu Provinsi harus menyelesaikan pergantian ketua Bawaslu itu sebelum 9 Desember untuk mengawal proses Pilkada. Bukan tiba-tiba diganti saat ingin memberikan keterangan di MK? Inikan poinnya disini,” tutur Ramandey.
Ditegaskan Ramandey bahwa jika betul terdapat SK pemberhentian ketua lama atau SK pergantian ke ketua baru, mengapa SK tersebut tidak dipercepat untuk dikeluarkan sebelum tanggal 9 Desember 2020.
“Pertanyaannya kan kenapa tidak dipaksakan SK itu keluar sebelum tanggal 9 Desember. Mengapa? Itu kan yang paling gentingnya disitu. Ngapain sudah selesai 9 desember baru ketua AS itu masuk menggantikan MD? Dia bikin apa? Seharusnya yang dipertanggungjawabkan adalah apa yang dilakukan saat 9 Desember. Bawaslu kan tugasnya “mengawasi” saat pemilunya itu, bukan sesudah Pemilu, apalagi awasi MK?,” ujar Ramandey.
Jadi, Ramandey melihat ada dua hal yang menjadi catatan penting terkait pergantian ketua Bawaslu Nabire. “Ada dua hal penting, pertama melecehkan tim seleksi Bawaslu, dan yang kedua adalah kepentingan apa bawaslu menggantikan ketua sesudah 9 Desember? Dia mau mengawasi 9 Desember kah atau mengamankan MK?,” lanjutnya.
“Kalau dijelaskan oleh AS, bahwa pada 8 November 2019 sudah pleno, nah kenapa tidak dipercepat pemilihan ketua bawaslunya sehingga sebelum tanggal 9 Desember 2020 itu SK Ketua baru itu sudah keluar untuk mengawasi Pilkada 9 Desember 2020 kan? Masakan ketika ada gugatan MK baru tiba-tiba ganti ketua? Ada apa? Poinnya kan ini,” terang Ramandey.
Ramandey menganalogikan ketika dirinya masih bertugas di Dinas Pendidikan bahwa tiga bulan sebelum ujian nasional tidak boleh ada pelantikan Kepala-Kepala Sekolah, karena Kepsek yang menjabat saat itulah yang bertanggungjawab atas segala urusan menyangkut kelulusan siswa, seperti dalam menandatangani ijasah dan lain sebagainya.
“Nah, setelah penandatanganan ijasah, barulah bisa ada Kepala Sekolah baru. Hal inilah yang setidaknya berlaku pula pada pergantian ketua Bawaslu Nabire, dimana urgensinya adalah proses Pilkadanya harus berjalan sampai tuntas dulu baru bisa memilih ketua baru, bukan angkat ketua baru pada saat proses penentuan di MK sedang berlangsung? Inikan hanya menambah persoalan,” demikian tutup Ramandey. (Red).
Michael Mote, SH.,M.Hum., mantan Sekertaris KPU Nabire yang sejak 28 Desember 2020 menjabat sebagai Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat mengatakan bahwa pergantian ketua Bawaslu Nabire adalah lumrah dan sah-sah saja, seperti pada pergantian Ketua KPU. Sehingga hal tersebut tidak perlu diributkan.
Namun menurut Mimo, demikian sapaan akrabnya, pergantian Ketua Bawaslu harus pula disertai dasar yang tercantum dalam Perbawaslu nomor 19 tahun 2017, seperti misalnya pengundurun diri dan habis masa tugas atau diberhentikan karena bersalah.
“Jadi dasar atau alasan pergantiannya harus jelas dan mengacu pada Perbawaslu, sehingga pergantian tersebut bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Mimo ketika dikonfirmasi awak media ini via seluler pada Minggu (31/01/21).
Ditempat lainnya, Zep Nagapa, SH., M.H., seorang staf dosen di STAK Nabire, melihat pergantian tersebut terjadi secara tiba-tiba dan tidak didukung keterbukaan informasi disaat kondisi yang sangat menentukan terpilihnya Kepala Daerah hasil Pilkada Kabupaten Nabire Tahun 2020.
Menurut Nagapa, pergantian Ketua Bawaslu Nabire dari Markus Madai (MD) ke Adriana Sahempa (AS) harusnya dipublikasikan ke publik disertai dengan alasan penggantian ketua.
“Harusnya ada trasparansi, bukan menunjukkan mekanisme rapat pleno, rapat pleno kan hanya sebagai tools dalam pengambilan keputusan, tapi dasar hukum dan alasan penggantian itu apa? Atau rolling jabatan kah?,” demikian tuturnya.
Nagapa menegaskan bahwa ada parameter untuk Bawaslu tingkat Provinsi atau Kabupaten/ Kota mau melakukan pergantian posisi ketua. Diantaranya terkait keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atau karena soal integritas yang tidak bisa dipertahankan, lalu bisa juga karena ada putusan peradilan pidana yang menyangkut intergitas
“Yang membingungkan, dalam pergantian ketua Bawaslu Nabire ada semacam terjadi rooling jabatan kah? Asumsi saya penggantian ketua bawaslu dapat terjadi Jika ketua sebelumnya mengundurkan diri, misalnya yang bersangkutan melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sebagai anggota bawaslu, jika tidak, maka atas dasar apa menggantinya?,” demikian ujar Nagapa.
Jadi menurutnya, pergantian ketua Bawaslu sudah diatur dalam Perbawaslu nomor 19 tahun 2017. Sedangkan Perbawaslu nomor 5 hanya mengatur mekanisme pelaksanaan rapat pleno anggota Bawaslu dan tidak ada kaitannya dengan roling jabatan
Pada tempat terpisah, J M Ramandey, S.TP., M.Si, Pembantu Rektor II di Uswim Nabire, menyayangkan pergantian ketua Bawaslu Nabire di saat berlangsungnya sengketa Pilkada di MK.
Menurutnya, pergantian ketua bawaslu tersebut mengesampingkan asas demokrasi, dimana Bawaslu sebagai Lembaga Negara yang harusnya bertugas mengawas jalannya pelaksanaan proses Pilkada di kabupaten Nabire yang berlangsung pada 9 Desember 2020 dan bukan untuk mengawasi sengketa Pilkada di MK setelah 9 Desember 2020.
“Mana yang penting, 9 Desember ka? Atau proses MK? Bawaslu harus jawab ini. Momennya kan bukan di MK tapi 9 Desember, jadi logisnya adalah Bawaslu pusat maupun Bawaslu Provinsi harus menyelesaikan pergantian ketua Bawaslu itu sebelum 9 Desember untuk mengawal proses Pilkada. Bukan tiba-tiba diganti saat ingin memberikan keterangan di MK? Inikan poinnya disini,” tutur Ramandey.
Ditegaskan Ramandey bahwa jika betul terdapat SK pemberhentian ketua lama atau SK pergantian ke ketua baru, mengapa SK tersebut tidak dipercepat untuk dikeluarkan sebelum tanggal 9 Desember 2020.
“Pertanyaannya kan kenapa tidak dipaksakan SK itu keluar sebelum tanggal 9 Desember. Mengapa? Itu kan yang paling gentingnya disitu. Ngapain sudah selesai 9 desember baru ketua AS itu masuk menggantikan MD? Dia bikin apa? Seharusnya yang dipertanggungjawabkan adalah apa yang dilakukan saat 9 Desember. Bawaslu kan tugasnya “mengawasi” saat pemilunya itu, bukan sesudah Pemilu, apalagi awasi MK?,” ujar Ramandey.
Jadi, Ramandey melihat ada dua hal yang menjadi catatan penting terkait pergantian ketua Bawaslu Nabire. “Ada dua hal penting, pertama melecehkan tim seleksi Bawaslu, dan yang kedua adalah kepentingan apa bawaslu menggantikan ketua sesudah 9 Desember? Dia mau mengawasi 9 Desember kah atau mengamankan MK?,” lanjutnya.
“Kalau dijelaskan oleh AS, bahwa pada 8 November 2019 sudah pleno, nah kenapa tidak dipercepat pemilihan ketua bawaslunya sehingga sebelum tanggal 9 Desember 2020 itu SK Ketua baru itu sudah keluar untuk mengawasi Pilkada 9 Desember 2020 kan? Masakan ketika ada gugatan MK baru tiba-tiba ganti ketua? Ada apa? Poinnya kan ini,” terang Ramandey.
Ramandey menganalogikan ketika dirinya masih bertugas di Dinas Pendidikan bahwa tiga bulan sebelum ujian nasional tidak boleh ada pelantikan Kepala-Kepala Sekolah, karena Kepsek yang menjabat saat itulah yang bertanggungjawab atas segala urusan menyangkut kelulusan siswa, seperti dalam menandatangani ijasah dan lain sebagainya.
“Nah, setelah penandatanganan ijasah, barulah bisa ada Kepala Sekolah baru. Hal inilah yang setidaknya berlaku pula pada pergantian ketua Bawaslu Nabire, dimana urgensinya adalah proses Pilkadanya harus berjalan sampai tuntas dulu baru bisa memilih ketua baru, bukan angkat ketua baru pada saat proses penentuan di MK sedang berlangsung? Inikan hanya menambah persoalan,” demikian tutup Ramandey. (Red).
Tidak ada komentar
Posting Komentar