Istilah “kebijakan”, dapat dipahami sebagai aturan tertulis yang merupakan suatu keputusan formal dalam organisasi yang bersifat mengikat dan dapat mengatur perilaku. Tujuannya adalah untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat.
Jadi, kebijakan dalam hal ini, akan menjadi rujukan utama, bagi para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku (Dunn, 1976).
Secara umum, kebijakan lebih bersifat problem solving dan proaktif. Tentunya berbeda dengan konsep hukum (law) dan peraturan (regulation), kebijakan di sini lebih adaptif dan interpretatif,—yang meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh”, dan “apa yang tidak boleh”—dalam pemahaman bahwa kebijakan diharapkan dapat bersifat umum, tetapi tanpa menghilangkan ciri lokalnya yang spesifik. Sebab kebijakan harus memberikan peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
Pengertian Analisis Kebijakan
Secara sederhana, “kebijakan” adalah sebuah solusi atas penyelesaian suatu persoalan (masalah). Namun pada perkembangannya, istilah kebijakan (policy) seringkali dipersepsikan sebagian kalangan, sama persis dengan istilah-istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, peraturan dan aturan-aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, dan konvensi, serta rencana strategis. Padahal fokus utama kebijakan adalah pelayanan publik, yang merupakan seperangkat sistem dalam negara, untuk meningkatkan kualitas dari kehidupan rakyatnya—orang banyak (umum, public).
Kebijakan merupakan sebuah konsep dan asas yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam pemerintahan negara. Sebagaimana kebijakan politik adalah sistem konsep resmi dari landasan atau pedoman perilaku politik negara—dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Namun dalam alam realitas, kebijakan yang lahir belum tentu menyenangkan dan dapat diterima semua yang menjadi bagian didalamnya—sekaligus pelaksana kebijakan—tetapi jika suatu kebijakan tidak diputuskan, bisa jadi dapat merugikan semuanya. Pada titik ini, kebijakan seringkali tidak efektif, akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah yang ada. Dengan kata lain, kebijakan sebagai obat, seringkali tidak manjur bahkan justru mematikan, akibat diagnosa masalah atau penyakitnya keliru.
Terkait dengan definisi dari “analisis kebijakan”, sebenarnya dengan adanya definisi yang sama di kalangan pembuat kebijakan dan ahli kebijakan, juga masyarakat yang mengetahui tentang kebijakan—maka setidaknya—defenisi dari kebijakan tidak dapat dijadikan sebuah masalah yang sifatnya kaku, karena diharapkan adanya titik temu dalam persepsi kebijakan itu sendiri.
Secara etimologis, istilah “kebijakan”, adalah istilah yang diterjemahkan dari kata “policy”. Dalam hal ini, kata ‘policy’ secara etimologis di ambil dari bahasa Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar kata “policy” dalam bahasa Yunani adalah “polis”, yang berarti negara kota. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta adalah “pur” berarti "kota". Selanjutnya kata ini berkembang dalam bahasa Latin yaitu “politic” yang berarti negara (dalam Busthan Abdy, 2016:19).
Dalam bahasa Inggris pertengahan, muncul pula kata “policie” yang menjadi “policy”, yaitu kata yang menunjuk kepada perbuatan yang berhubungan dengan masalah kenegaraan dan administrasi pemerintahan. Asal kata “policy” sama dengan asal dua kata latin, yaitu “polis” dan “politic”.
Sehingga dapat memberikan penjelasan mengapa dalam bahasa modern, seperti bahasa Jerman dan Rusia, hanya mempunyai satu kata (politik, politikal) yang keduanya menunjuk kepada "kebijakan dan politik".
Jika kata “kebijakan” ditambahkan dengan kata “analisis”, maka terbentuklah konsep “Analisis Kebijakan”.
Menurut Wayne Parsons (2008) dalam Busthan Abdy (2016:19) dalam kajian tentang kebijakan publik, terdapat dua pendekatan yaitu: 1) Analysis of the policy process (Proses Pembuatan Kebijakan); dan 2) Analysis in and for the policy process (Analisis Kebijakan).
Analysis of the policy process, atau proses pembuatan kebijakan, lebih berkaitan dengan bagaimana masalah kebijakan itu dirumuskan dengan agenda kebijakan yang ditentukan; dan bagaimana nantinya suatu kebijakan itu dirumuskan; juga bagaimana keputusan kebijakan itu akan diambil; serta bagaimana nantinya kebijakan itu selanjutnya dilaksanakan dan dievaluasi.
Analysis in and for the policy process atau analisis kebijakan, mencakup teknik-teknik analitik, riset, advokasi (advocacy) dalam perumusan masalah, kebijakan dalam pengambilan keputusan kebijakan, serta pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Berdasarkan kedua kajian kebijakan publik di atas, maka analisis kebijakan publik (policy analysis) adalah kajian multidisiplin tentang kebijakan publik yang bertujuan mengintegrasikan dan mengkontektualsasikan model serta riset dari disiplin–disiplin tersebut yang mengandung orientasi problem dan kebijakan (Parson, 2008).
Selanjutnya Patton & Sawicki (1986) menyatakan bahwa, analisis kebijakan adalah suatu rangkaian proses dalam menghasilkan kebijakan. Senada dengan pendapat ini, Suryadi dan Tilaar (1994) berpendapat bahwa, analisis kebijakan merupakan suatu cara atau prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk pemecahan masalah kebijakan.
Stokey & Zekhauser (1978), mengartikan analisis kebijakan sebagai suatu proses yang rasional dengan menggunakan metode dan teknik yang juga rasional. Lalu defenisi ini dipersempit lagi dengan menyatakan bahwa analisis kebijakan hanya untuk para pembuat keputusan yang rasional, yaitu sebagai penentu tujuan kebijakan dan yang menggunakan proses logika dalam menelusuri cara terbaik untuk mencapai suatu tujuan.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan di atas, menurut MacRae Duncan (1976), analisis kebijakan adalah sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai, dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya memecahkan masalah publik.
Definisi kerja analisis kebijakan menurut Duncan di atas, dapat dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang lebih menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda, yaitu untuk menghasilkan dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat politis, sebagai upayanya untuk memecahkan masalah kebijakan.
Pada titik ini, maka menurut Busthan Abdy (2016:21-22), setidaknya terdapat 4 (empat) hal penting untuk memahami konsep analisis kebijakan ini, yaitu sebagai berikut:
Secara umum, kebijakan lebih bersifat problem solving dan proaktif. Tentunya berbeda dengan konsep hukum (law) dan peraturan (regulation), kebijakan di sini lebih adaptif dan interpretatif,—yang meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh”, dan “apa yang tidak boleh”—dalam pemahaman bahwa kebijakan diharapkan dapat bersifat umum, tetapi tanpa menghilangkan ciri lokalnya yang spesifik. Sebab kebijakan harus memberikan peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
Pengertian Analisis Kebijakan
Secara sederhana, “kebijakan” adalah sebuah solusi atas penyelesaian suatu persoalan (masalah). Namun pada perkembangannya, istilah kebijakan (policy) seringkali dipersepsikan sebagian kalangan, sama persis dengan istilah-istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, peraturan dan aturan-aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, dan konvensi, serta rencana strategis. Padahal fokus utama kebijakan adalah pelayanan publik, yang merupakan seperangkat sistem dalam negara, untuk meningkatkan kualitas dari kehidupan rakyatnya—orang banyak (umum, public).
Kebijakan merupakan sebuah konsep dan asas yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam pemerintahan negara. Sebagaimana kebijakan politik adalah sistem konsep resmi dari landasan atau pedoman perilaku politik negara—dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Namun dalam alam realitas, kebijakan yang lahir belum tentu menyenangkan dan dapat diterima semua yang menjadi bagian didalamnya—sekaligus pelaksana kebijakan—tetapi jika suatu kebijakan tidak diputuskan, bisa jadi dapat merugikan semuanya. Pada titik ini, kebijakan seringkali tidak efektif, akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah yang ada. Dengan kata lain, kebijakan sebagai obat, seringkali tidak manjur bahkan justru mematikan, akibat diagnosa masalah atau penyakitnya keliru.
Terkait dengan definisi dari “analisis kebijakan”, sebenarnya dengan adanya definisi yang sama di kalangan pembuat kebijakan dan ahli kebijakan, juga masyarakat yang mengetahui tentang kebijakan—maka setidaknya—defenisi dari kebijakan tidak dapat dijadikan sebuah masalah yang sifatnya kaku, karena diharapkan adanya titik temu dalam persepsi kebijakan itu sendiri.
Secara etimologis, istilah “kebijakan”, adalah istilah yang diterjemahkan dari kata “policy”. Dalam hal ini, kata ‘policy’ secara etimologis di ambil dari bahasa Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar kata “policy” dalam bahasa Yunani adalah “polis”, yang berarti negara kota. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta adalah “pur” berarti "kota". Selanjutnya kata ini berkembang dalam bahasa Latin yaitu “politic” yang berarti negara (dalam Busthan Abdy, 2016:19).
Dalam bahasa Inggris pertengahan, muncul pula kata “policie” yang menjadi “policy”, yaitu kata yang menunjuk kepada perbuatan yang berhubungan dengan masalah kenegaraan dan administrasi pemerintahan. Asal kata “policy” sama dengan asal dua kata latin, yaitu “polis” dan “politic”.
Sehingga dapat memberikan penjelasan mengapa dalam bahasa modern, seperti bahasa Jerman dan Rusia, hanya mempunyai satu kata (politik, politikal) yang keduanya menunjuk kepada "kebijakan dan politik".
Jika kata “kebijakan” ditambahkan dengan kata “analisis”, maka terbentuklah konsep “Analisis Kebijakan”.
Menurut Wayne Parsons (2008) dalam Busthan Abdy (2016:19) dalam kajian tentang kebijakan publik, terdapat dua pendekatan yaitu: 1) Analysis of the policy process (Proses Pembuatan Kebijakan); dan 2) Analysis in and for the policy process (Analisis Kebijakan).
Analysis of the policy process, atau proses pembuatan kebijakan, lebih berkaitan dengan bagaimana masalah kebijakan itu dirumuskan dengan agenda kebijakan yang ditentukan; dan bagaimana nantinya suatu kebijakan itu dirumuskan; juga bagaimana keputusan kebijakan itu akan diambil; serta bagaimana nantinya kebijakan itu selanjutnya dilaksanakan dan dievaluasi.
Analysis in and for the policy process atau analisis kebijakan, mencakup teknik-teknik analitik, riset, advokasi (advocacy) dalam perumusan masalah, kebijakan dalam pengambilan keputusan kebijakan, serta pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Berdasarkan kedua kajian kebijakan publik di atas, maka analisis kebijakan publik (policy analysis) adalah kajian multidisiplin tentang kebijakan publik yang bertujuan mengintegrasikan dan mengkontektualsasikan model serta riset dari disiplin–disiplin tersebut yang mengandung orientasi problem dan kebijakan (Parson, 2008).
Selanjutnya Patton & Sawicki (1986) menyatakan bahwa, analisis kebijakan adalah suatu rangkaian proses dalam menghasilkan kebijakan. Senada dengan pendapat ini, Suryadi dan Tilaar (1994) berpendapat bahwa, analisis kebijakan merupakan suatu cara atau prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk pemecahan masalah kebijakan.
Stokey & Zekhauser (1978), mengartikan analisis kebijakan sebagai suatu proses yang rasional dengan menggunakan metode dan teknik yang juga rasional. Lalu defenisi ini dipersempit lagi dengan menyatakan bahwa analisis kebijakan hanya untuk para pembuat keputusan yang rasional, yaitu sebagai penentu tujuan kebijakan dan yang menggunakan proses logika dalam menelusuri cara terbaik untuk mencapai suatu tujuan.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan di atas, menurut MacRae Duncan (1976), analisis kebijakan adalah sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai, dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya memecahkan masalah publik.
Definisi kerja analisis kebijakan menurut Duncan di atas, dapat dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang lebih menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda, yaitu untuk menghasilkan dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat politis, sebagai upayanya untuk memecahkan masalah kebijakan.
Pada titik ini, maka menurut Busthan Abdy (2016:21-22), setidaknya terdapat 4 (empat) hal penting untuk memahami konsep analisis kebijakan ini, yaitu sebagai berikut:
- Analisis kebijakan sebagai ilmu sosial terapan, artinya merupakan sebuah hasil nyata dari suatu misi ilmu pengetahuan yang terlahir dari gerakan profesionalisme ilmu-ilmu sosial.
- Menghasilkan dan mendayagunakan informasi. Dalam hal ini, bagian-bagian kegiatan analisis kebijakan adalah pengumpulan, pengolahan, dan pendayagunaan data yang ada, agar menjadi masukan yang berguna bagi para pembuat keputusan.
- Penggunaan “metode inquiri” dan argumentasi berganda. Dalam hal ini, digunakan jenis-jenis metode dan teknik dalam analisis kebijakan, seperti metode yang sifatnya deskriptif, dan metode yang sifatnya preskriptif; metode yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif. Penggunaan metode-metode tersebut sangat tergantung pada sifat isu kebijakan yang sedang disoroti.
- Pengambilan keputusan bersifat politis. Memiliki pemahaman tentang suatu proses pendayagunaan informasi didalam proses pembuatan kebijakan publik.
Berdasarkan keempat konsep analisis kebijakan di atas, maka komponen dan elemen utama dalam kebijakan adalah:
1) Pelaku kebijakan
2) Lingkungan kebijakan
3) Kebijakan publik.
Dari beberapa definisi para ahli di atas, dapat dipahami bahwa analisis kebijakan adalah suatu metode penggunakan argumentasi rasional, yang didasarkan pada fakta-fakta, untuk menjelaskan, menilai, membuahkan pemikiran-pemikiran, demi mengupayakan pemecahan masalah-masalah publik; atau bisa dikatakan sebagai suatu prosedur dalam menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda, yaitu untuk menghasilkan dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dengan proses pengambilan keputusan yang bersifat politis, dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Busthan Abdy, 2016:22)
Hal penting lainnya, bahwa menurut Duncan (1976), penggunaan istilah analisis kebijakan, lebih dikedepankan daripada pengertian kebijakan—karena analisis kebijakan merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu analisis kebijakan didefinisikan pula sebagai disiplin ilmu terapan (policy sciences) yang memanfaatkan berbagai metode dan teknik dalam ilmu sosial untuk menghasilkan informasi yang relevan dan diperlukan dalam praktek pengambilan keputusan di sektor publik dan perumusan sebuah kebijakan publik.
Bahkan analisis kebijakan dapat dianggap sebagai salah satu unsur sistem kebijakan (policy system) atau seluruh institusional tempat di dalam kebijakan dibuat, yang mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur atau elemen kebijakan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan.
Dalam hal ini, Dunn dalam Busthan Abdy (2016:23) menggambarkan tentang penggunaan komponen-komponen prosedur metodologi untuk melaksanakan analisis suatu kebijakan dalam suatu sistem. Komponen-komponen yang dimaksudkan dalam prosedur metodologi analisis kebijakan ini adalah hal-hal seperti: perumusan masalah, hal peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi. Jadi, melakukan analisis kebijakan berarti menggunakan kelima prosedur metodologi tersebut dalam proses kajiannya.
Dengan memperhatikan batasan dan pernyataan di atas, maka kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan, tetapi juga yang tidak dikerjakan oleh pemerintah sebagai tokoh sentral kebijakan publik.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa, kebijakan publik erat kaitannya dengan berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan lembaga pemerintah, untuk kepentingan seluruh masyarakat melalui berbagai strategi dan program pembangunan.
Produk dari kebijakan publik dapat tertuang dalam suatu produk hukum untuk mengatur masyarakat. Dan jika dilihat dari bentuknya, maka secara luas, terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) Kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah yang tertuang secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan; (2) Kebijakan berbentuk peraturan-peraturan yang tidak tertulis, tapi disepakati (konvensi).
Pengertian Analisis Kebijakan Pendidikan
Dalam kajian tentang pendidikan, si jenius Albert Einstein menyatakan bahwa pendidikan dalam keberlangsungannya di sekolah, jika tanpa dukungan dari apa yang terjadi melalui “pengalaman” dan “realitas pribadi” dari individu, maka ia hanya menghasilkan guru-guru dalam kelas yang mirip seperti Sersan, dan jika di gedung olahraga juga mirip seperti Letnan (Busthan Abdy 2014:73). Kalimat ini bisa dipahami bahwa persoalan-persoalan pendidikan yang dalam pemahamannya secara universal, haruslah mengacu pada bagaimana dan di mana kondisi siswa itu berada (kontekstual). Karenanya, menurut Einstein bahwa pengertian pendidikan mencakup dua hal.
Pertama. Dalam dunia pendidikan di sekolah, komentar kritis siswa harus diterima dengan semangat persahabatan. Karena itu maka dengan bertumpuknya bahan pelajaran disekolah, seharusnya tidak dijadikan untuk menindas kemerdekaan siswa. Sebab keunggulan kompetitif sebuah masyarakat, bukanlah suatu hasil dari seberapa bagusnya sekolah dapat merangsang imajinasi dan kreatifitas. Sehingga kredo yang elegan dan sekaligus menarik adalah alam yang merupakan realisasi gagasan matematis paling sederhana yang dipikirkan. Karena itu, realitas adalah teori yang akan mewakili berbagai hal itu sendiri, dan bukan sekedar propabilitas kejadiannya (Isaacson Walter, 2013: 7, 372-373)
Kedua. Seluruh ilmu pengetahuan, tidaklah lebih dari suatu penyempurnaan pemikiran sehari-hari. Karena imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Sehingga pendidikan adalah dengan menemukan masalah yang tepat, memecahkan polanya, melanggar aturannya dan tumbuhkan solusinya. (Thorpe Scott, 2002: 24, 26, 73).
Dalam kedua definisi Einstein di atas, setidaknya dapat ditarik garis pemahaman mendasar bahwa, ide-ide-ide dan gagasan-gagasan pendidikan, haruslah mengacu pada persoalan-persoalan dalam ‘realitas nyata’ di mana siswa berada. Sehingga nantinya dapatlah ditemukan suatu kebijakan pendidikan yang dijadikan jalan keluar untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan yang berpusat pada realitas nyata di mana siswa itu berada.
Selanjutnya pendidikan berdasarkan konsep dari Ki Hajar Dewantara (dalam Samho Bartolomeus, 2013:74-75) adalah sebagai berikut:
Pertama. Pendidikan merupakan suatu daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intelektual) dan jasmani dari anak-anak, agar supaya menjadi ‘selaras’ dengan alam yang didalamnya apat pula masyarakat
Kedua. Pendidikan dan pengajaran merupakan daya upaya yang dilakukan dengan sengaja dan secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah pengetahuan dan batiniah manusia. Dalam hal ini pengajaran adalah salah satu bagian dari pendidikan, dalam arti bahwa, pendidikan dengan memberikan ilmu atau pengetahuan dengan kecakapan, pengertian, serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Sebab pada umumnya, pengajaran dapat memerdekakan manusia atas hidup lahirnya, sehingga dapat menjadi pintar, cerdas dan terampil.
Ketiga. Dalam pengertian umum, pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak, yang menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia yang juga bagian dari masyarakat, dapat mencapai keselamatan dan yang setinggi-tingginya.
Dengan mengacu pada apa yang diuraikan bapak pendidikan nasional di atas, selanjutnya menurut Kande A Fredrick dan Sukoco Heru (2010:43) bahwa analisis kebijakan pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh para analis dengan menggunakan satu atau kombinasi metode untuk menghasilkan rekomendasi sebagai landasan dalam membuat rencana tindakan yang berguna dan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan dalam kurun waktu tertentu. Dari defenisi ini, maka terdapat elemen pokok dalam analisis kebijakan pendidikan, yaitu:
1) Kegiatan;
2) Analisis;
3) Satu atau kombinasi metode;
4) Rekomendasi rencana tindakan.
Itulah sebabnya, analisis kebijakan pendidikan, dapat dikatakan sebagai suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai sebuah masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan, yang didukung oleh informasi teknis pula, yaitu dalam bidang pendidikan. Informasi teknis ini merupakan suatu satuan pernyataan tentang kebenaran induktif, yang didukung oleh kebenaran empiris, sebagai hasil dari rangkaian analisis data.
Sehingga, pemahaman dari analisis kebijakan pendidikan, akan lebih merupakan suatu kegiatan dalam menghasilkan informasi kependidikan dengan cara ‘menggunakan data’ sebagai masukan, untuk melakukan perumusan beberapa alternatif kebijakan yang dalam pengambilan keputusannya yang bersifat politis untuk memecahkan masalah kependidikan. Jadi, analisis kebijakan pendidikan, tidak semata-mata melakukan analisis terhadap data dan informasi saja, akan tetapi lebih memperhatikan seluruh aspek yang menyangkut proses pembuatan suatu kebijakan, mulai dari analisis terhadap masalahnya, pengumpulan informasi, penentuan alternatif kebijakan, sampai kepada penyampaian alternatif tersebut terhadap para pembuat keputusan.
Kemudian rumusan dalam alternatif kebijakan yang dihasilkan dari suatu proses analisis kebijakan ini, tidak dengan sendirinya atau tidak secara langsung, dapatlah dijadikan suatu kebijakan. Jika rumusan kebijakan ini sudah didukung oleh kekuatan otoritas alternatif, maka alternatif kebijakan itu sendiri akan berubah menjadi suatu kebijakan.
Prosedur yang menghasilkan alternatif kebijakan, merupakan proses rasional. Sedangkan terjadinya kebijakan itu sendiri merupakan proses politik. Harus digaribawahi, bahwa pemisahan anatara proses yang rasional dengan proses politik dalam pengambilan kebijakan, biasanya kurang menggambarkan suatu keadaan sebenarnya yang terjadi di lapangan.
Sebab dalam alam realitas, banyak dijumpai proses yang rasional dalam analisis kebijakan, yang juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses politik itu sendiri. Proses yang rasional empiris dalam analisis kebijakan tersebut, sering digunakan sebagai alasan dasar dalam suatu perjuangan politik dari salah satu kepentingan.
Mungkin juga sebaliknya, bahwa proses politik itu sendiri lebih merupakan salah satu bentuk proses rasional karena politik berbicara mengenai kepentingan masyarakat banyak.
(oleh: Abdy Busthan)
Buku Rujukan:
Busthan Abdy (2016). Analisis Kebijakan Pendidikan. (hal. 17-28). Kupang: Desna Life Ministry
1) Pelaku kebijakan
2) Lingkungan kebijakan
3) Kebijakan publik.
Dari beberapa definisi para ahli di atas, dapat dipahami bahwa analisis kebijakan adalah suatu metode penggunakan argumentasi rasional, yang didasarkan pada fakta-fakta, untuk menjelaskan, menilai, membuahkan pemikiran-pemikiran, demi mengupayakan pemecahan masalah-masalah publik; atau bisa dikatakan sebagai suatu prosedur dalam menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda, yaitu untuk menghasilkan dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dengan proses pengambilan keputusan yang bersifat politis, dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Busthan Abdy, 2016:22)
Hal penting lainnya, bahwa menurut Duncan (1976), penggunaan istilah analisis kebijakan, lebih dikedepankan daripada pengertian kebijakan—karena analisis kebijakan merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu analisis kebijakan didefinisikan pula sebagai disiplin ilmu terapan (policy sciences) yang memanfaatkan berbagai metode dan teknik dalam ilmu sosial untuk menghasilkan informasi yang relevan dan diperlukan dalam praktek pengambilan keputusan di sektor publik dan perumusan sebuah kebijakan publik.
Bahkan analisis kebijakan dapat dianggap sebagai salah satu unsur sistem kebijakan (policy system) atau seluruh institusional tempat di dalam kebijakan dibuat, yang mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur atau elemen kebijakan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan.
Dalam hal ini, Dunn dalam Busthan Abdy (2016:23) menggambarkan tentang penggunaan komponen-komponen prosedur metodologi untuk melaksanakan analisis suatu kebijakan dalam suatu sistem. Komponen-komponen yang dimaksudkan dalam prosedur metodologi analisis kebijakan ini adalah hal-hal seperti: perumusan masalah, hal peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi. Jadi, melakukan analisis kebijakan berarti menggunakan kelima prosedur metodologi tersebut dalam proses kajiannya.
Dengan memperhatikan batasan dan pernyataan di atas, maka kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan, tetapi juga yang tidak dikerjakan oleh pemerintah sebagai tokoh sentral kebijakan publik.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa, kebijakan publik erat kaitannya dengan berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan lembaga pemerintah, untuk kepentingan seluruh masyarakat melalui berbagai strategi dan program pembangunan.
Produk dari kebijakan publik dapat tertuang dalam suatu produk hukum untuk mengatur masyarakat. Dan jika dilihat dari bentuknya, maka secara luas, terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) Kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah yang tertuang secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan; (2) Kebijakan berbentuk peraturan-peraturan yang tidak tertulis, tapi disepakati (konvensi).
Pengertian Analisis Kebijakan Pendidikan
Dalam kajian tentang pendidikan, si jenius Albert Einstein menyatakan bahwa pendidikan dalam keberlangsungannya di sekolah, jika tanpa dukungan dari apa yang terjadi melalui “pengalaman” dan “realitas pribadi” dari individu, maka ia hanya menghasilkan guru-guru dalam kelas yang mirip seperti Sersan, dan jika di gedung olahraga juga mirip seperti Letnan (Busthan Abdy 2014:73). Kalimat ini bisa dipahami bahwa persoalan-persoalan pendidikan yang dalam pemahamannya secara universal, haruslah mengacu pada bagaimana dan di mana kondisi siswa itu berada (kontekstual). Karenanya, menurut Einstein bahwa pengertian pendidikan mencakup dua hal.
Pertama. Dalam dunia pendidikan di sekolah, komentar kritis siswa harus diterima dengan semangat persahabatan. Karena itu maka dengan bertumpuknya bahan pelajaran disekolah, seharusnya tidak dijadikan untuk menindas kemerdekaan siswa. Sebab keunggulan kompetitif sebuah masyarakat, bukanlah suatu hasil dari seberapa bagusnya sekolah dapat merangsang imajinasi dan kreatifitas. Sehingga kredo yang elegan dan sekaligus menarik adalah alam yang merupakan realisasi gagasan matematis paling sederhana yang dipikirkan. Karena itu, realitas adalah teori yang akan mewakili berbagai hal itu sendiri, dan bukan sekedar propabilitas kejadiannya (Isaacson Walter, 2013: 7, 372-373)
Kedua. Seluruh ilmu pengetahuan, tidaklah lebih dari suatu penyempurnaan pemikiran sehari-hari. Karena imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Sehingga pendidikan adalah dengan menemukan masalah yang tepat, memecahkan polanya, melanggar aturannya dan tumbuhkan solusinya. (Thorpe Scott, 2002: 24, 26, 73).
Dalam kedua definisi Einstein di atas, setidaknya dapat ditarik garis pemahaman mendasar bahwa, ide-ide-ide dan gagasan-gagasan pendidikan, haruslah mengacu pada persoalan-persoalan dalam ‘realitas nyata’ di mana siswa berada. Sehingga nantinya dapatlah ditemukan suatu kebijakan pendidikan yang dijadikan jalan keluar untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan yang berpusat pada realitas nyata di mana siswa itu berada.
Selanjutnya pendidikan berdasarkan konsep dari Ki Hajar Dewantara (dalam Samho Bartolomeus, 2013:74-75) adalah sebagai berikut:
Pertama. Pendidikan merupakan suatu daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intelektual) dan jasmani dari anak-anak, agar supaya menjadi ‘selaras’ dengan alam yang didalamnya apat pula masyarakat
Kedua. Pendidikan dan pengajaran merupakan daya upaya yang dilakukan dengan sengaja dan secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah pengetahuan dan batiniah manusia. Dalam hal ini pengajaran adalah salah satu bagian dari pendidikan, dalam arti bahwa, pendidikan dengan memberikan ilmu atau pengetahuan dengan kecakapan, pengertian, serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Sebab pada umumnya, pengajaran dapat memerdekakan manusia atas hidup lahirnya, sehingga dapat menjadi pintar, cerdas dan terampil.
Ketiga. Dalam pengertian umum, pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak, yang menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia yang juga bagian dari masyarakat, dapat mencapai keselamatan dan yang setinggi-tingginya.
Dengan mengacu pada apa yang diuraikan bapak pendidikan nasional di atas, selanjutnya menurut Kande A Fredrick dan Sukoco Heru (2010:43) bahwa analisis kebijakan pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh para analis dengan menggunakan satu atau kombinasi metode untuk menghasilkan rekomendasi sebagai landasan dalam membuat rencana tindakan yang berguna dan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan dalam kurun waktu tertentu. Dari defenisi ini, maka terdapat elemen pokok dalam analisis kebijakan pendidikan, yaitu:
1) Kegiatan;
2) Analisis;
3) Satu atau kombinasi metode;
4) Rekomendasi rencana tindakan.
Itulah sebabnya, analisis kebijakan pendidikan, dapat dikatakan sebagai suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai sebuah masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan, yang didukung oleh informasi teknis pula, yaitu dalam bidang pendidikan. Informasi teknis ini merupakan suatu satuan pernyataan tentang kebenaran induktif, yang didukung oleh kebenaran empiris, sebagai hasil dari rangkaian analisis data.
Sehingga, pemahaman dari analisis kebijakan pendidikan, akan lebih merupakan suatu kegiatan dalam menghasilkan informasi kependidikan dengan cara ‘menggunakan data’ sebagai masukan, untuk melakukan perumusan beberapa alternatif kebijakan yang dalam pengambilan keputusannya yang bersifat politis untuk memecahkan masalah kependidikan. Jadi, analisis kebijakan pendidikan, tidak semata-mata melakukan analisis terhadap data dan informasi saja, akan tetapi lebih memperhatikan seluruh aspek yang menyangkut proses pembuatan suatu kebijakan, mulai dari analisis terhadap masalahnya, pengumpulan informasi, penentuan alternatif kebijakan, sampai kepada penyampaian alternatif tersebut terhadap para pembuat keputusan.
Kemudian rumusan dalam alternatif kebijakan yang dihasilkan dari suatu proses analisis kebijakan ini, tidak dengan sendirinya atau tidak secara langsung, dapatlah dijadikan suatu kebijakan. Jika rumusan kebijakan ini sudah didukung oleh kekuatan otoritas alternatif, maka alternatif kebijakan itu sendiri akan berubah menjadi suatu kebijakan.
Prosedur yang menghasilkan alternatif kebijakan, merupakan proses rasional. Sedangkan terjadinya kebijakan itu sendiri merupakan proses politik. Harus digaribawahi, bahwa pemisahan anatara proses yang rasional dengan proses politik dalam pengambilan kebijakan, biasanya kurang menggambarkan suatu keadaan sebenarnya yang terjadi di lapangan.
Sebab dalam alam realitas, banyak dijumpai proses yang rasional dalam analisis kebijakan, yang juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses politik itu sendiri. Proses yang rasional empiris dalam analisis kebijakan tersebut, sering digunakan sebagai alasan dasar dalam suatu perjuangan politik dari salah satu kepentingan.
Mungkin juga sebaliknya, bahwa proses politik itu sendiri lebih merupakan salah satu bentuk proses rasional karena politik berbicara mengenai kepentingan masyarakat banyak.
(oleh: Abdy Busthan)
Buku Rujukan:
Busthan Abdy (2016). Analisis Kebijakan Pendidikan. (hal. 17-28). Kupang: Desna Life Ministry
Tidak ada komentar
Posting Komentar