Dalam pidato di saat pelantikan Presiden pada 20 Oktober 2019 lalu, Ketua MPR-RI menekankan pentingnya pendidikan moral Pancasila dikembalikan lagi di lembaga-lembaga pendidikan kita, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi. Hal ini juga telah menjadi bahan diskusi mendalam di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Rasanya alasan bagi pengembalian PMP cukup terang bagi kita. Sejak jatuhnya Orde Baru di tahun 1998, sejak itu juga Pancasila cenderung dilupakan. Dosa Orde Baru ditimpakan kepada Pancasila, sehingga kalau orde ini runtuh maka pantaslah kalau Pancasila ikut diruntuhkan. Akibatnya sungguh parah. Bangsa kita kehilangan identitasnya sebagai bangsa.
Perlulah kita tegaskan bahwa Indonesia adalah Pancasila, Pancasila adalah Indonesia. Itulah yang mendasari adanya Indonesia sebagai negara dan bangsa. Lebih parah lagi berbagai ideologi dari luar secara leluasa memasuki negeri kita. Ideologi-ideologi itu bukan saja tidak sama tetapi juga bertentangan dengan Pancasila. Kalau terus dibiarkan negara kita akan runtuh dan bangsa kita kehilangan eksistensinya. Maka jelaslah mengapa pendidikan moral Pancasila itu sangat dibutuhkan. Bahkan sangat imperatif.
Pertanyaannya adalah, bagaimana melaksanakannya. Bukankah Orde Baru juga sangat giat melakukannya pada waktu lalu? Kemanakah mereka yang sudah mengikuti pendidikan moral Pancasila itu? Lebih luas dari itu, di manakah orang-orang yang pernah mengikuti pendidikan P4 dengan biaya yang tidak sedikit itu? Apa yang salah dengan P4?
Beberapa hari lalu saya sempat ketemu dengan seorang ahli pendidikan. Ia mengingatkan bahwa yang disebut pendidikan itu terdiri dari tiga komponen: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Yang disebut kognitif mempunyai kaitan dengan pengetahuan, hafalan, ingatan, dan seterusnya. Afektif berhubungan dengan sikap, watak, nilai, dan perilaku. Sedangkan psikomotorik bersangkut-paut dengan ketrampilan setelah pengalaman belajar tertentu. Tentu saja ketiga elemen ini tidak boleh dilepaskan satu dari pada yang lainnya.
Yang terjadi dengan pendidikan moral Pancasila di era Orde Baru kemungkinanan besar hanya berhenti pada elemen kognitif. Maka Pancasila memang menjadi bahan hafalan. Sila-silanya dihafal pada setiap upacara. Nilai-nilainya yang sekian butir hanya dihafal pada saat penataran P4. Tidak pernah pendidikan itu memasuki ranah afektif dan psikomotorik.
Kalau sekarang pendidikan moral Pancasila mau dihidupkan lagi, maka haruslah ketiga ranah ini diperhitungkan secara serius. Pancasila haruslah menjadi sikap dan perilaku, bukan sekadar hafalan. Seorang guru yang tidak bersikap toleran terhadap murid yang berlainan agama dan suku misalnya, bukanlah sikap dan perilaku Pancasila. Bisa saja ia mendapat nilai A pada pendidikan moral Pancasila, tetapi kalau perilakunya tidak menghormati perbedaan dan kesetaraan, maka nilai itu menjadi mubazir.
Ketika sekarang kita mau menerapkan kembali pendidikan moral Pancasila, maka patutlah dicamkan bahwa kita semua berada dalam proses belajar terus-menerus. Tidak ada yang akan tamat belajar seperti halnya kehidupan yang tidak tamat kecuali kita sudah wafat.
Rasanya alasan bagi pengembalian PMP cukup terang bagi kita. Sejak jatuhnya Orde Baru di tahun 1998, sejak itu juga Pancasila cenderung dilupakan. Dosa Orde Baru ditimpakan kepada Pancasila, sehingga kalau orde ini runtuh maka pantaslah kalau Pancasila ikut diruntuhkan. Akibatnya sungguh parah. Bangsa kita kehilangan identitasnya sebagai bangsa.
Perlulah kita tegaskan bahwa Indonesia adalah Pancasila, Pancasila adalah Indonesia. Itulah yang mendasari adanya Indonesia sebagai negara dan bangsa. Lebih parah lagi berbagai ideologi dari luar secara leluasa memasuki negeri kita. Ideologi-ideologi itu bukan saja tidak sama tetapi juga bertentangan dengan Pancasila. Kalau terus dibiarkan negara kita akan runtuh dan bangsa kita kehilangan eksistensinya. Maka jelaslah mengapa pendidikan moral Pancasila itu sangat dibutuhkan. Bahkan sangat imperatif.
Pertanyaannya adalah, bagaimana melaksanakannya. Bukankah Orde Baru juga sangat giat melakukannya pada waktu lalu? Kemanakah mereka yang sudah mengikuti pendidikan moral Pancasila itu? Lebih luas dari itu, di manakah orang-orang yang pernah mengikuti pendidikan P4 dengan biaya yang tidak sedikit itu? Apa yang salah dengan P4?
Beberapa hari lalu saya sempat ketemu dengan seorang ahli pendidikan. Ia mengingatkan bahwa yang disebut pendidikan itu terdiri dari tiga komponen: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Yang disebut kognitif mempunyai kaitan dengan pengetahuan, hafalan, ingatan, dan seterusnya. Afektif berhubungan dengan sikap, watak, nilai, dan perilaku. Sedangkan psikomotorik bersangkut-paut dengan ketrampilan setelah pengalaman belajar tertentu. Tentu saja ketiga elemen ini tidak boleh dilepaskan satu dari pada yang lainnya.
Yang terjadi dengan pendidikan moral Pancasila di era Orde Baru kemungkinanan besar hanya berhenti pada elemen kognitif. Maka Pancasila memang menjadi bahan hafalan. Sila-silanya dihafal pada setiap upacara. Nilai-nilainya yang sekian butir hanya dihafal pada saat penataran P4. Tidak pernah pendidikan itu memasuki ranah afektif dan psikomotorik.
Kalau sekarang pendidikan moral Pancasila mau dihidupkan lagi, maka haruslah ketiga ranah ini diperhitungkan secara serius. Pancasila haruslah menjadi sikap dan perilaku, bukan sekadar hafalan. Seorang guru yang tidak bersikap toleran terhadap murid yang berlainan agama dan suku misalnya, bukanlah sikap dan perilaku Pancasila. Bisa saja ia mendapat nilai A pada pendidikan moral Pancasila, tetapi kalau perilakunya tidak menghormati perbedaan dan kesetaraan, maka nilai itu menjadi mubazir.
Ketika sekarang kita mau menerapkan kembali pendidikan moral Pancasila, maka patutlah dicamkan bahwa kita semua berada dalam proses belajar terus-menerus. Tidak ada yang akan tamat belajar seperti halnya kehidupan yang tidak tamat kecuali kita sudah wafat.
Salam Pancasila!
Oleh: Pdt. Dr. A.A. Yewangoe
Tidak ada komentar
Posting Komentar