Pada dasarnya, natur manusia terdiri dari apa yang disebut “Trikhotomi” yaitu menyatunya tubuh, jiwa dan roh. Sebagaimana dalam pandangan para filsuf Yunani, bahwa tubuh, jiwa dan roh adalah satu kesatuan yang dalam diri manusia yang hidup.
Hal ini juga dipertegas paham Ibrani, bahwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Yang pertama dijadikan dari tanah liat, yang kedua ialah kehidupannya (nyawa), sedang yang ketiga ialah roh yang dapat merasa, mendengar, melihat, memikirkan dan lain sebagainya (1 Tesalonika 5:23; Kejadian 2:17; Bilangan 16:22).
Roh—merupakan bagian dari diri manusia yang paling dalam. Roh adalah prinsip kehidupan manusia. Roh adalah nafas yang dihembuskan oleh Allah ke dalam manusia dan kembali kepada Allah, kesatuan spiritual dalam manusia. Roh adalah sifat alami manusia yang “immaterial”, dan sangat memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan Allah, yang juga adalah Roh. Di bagian inilah manusia mempunyai potensi untuk memahami dan berhubungan dengan Allah. Iman kepada Allah selalu berasal dari roh. Karena roh inilah maka manusia berbeda dengan binatang. Sehingga memperkokoh posisi manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki roh—yang mampu mengenal Allah.
Jiwa—merupakan unsur batiniah manusia yang tidak dapat dilihat. Jiwa manusia meliputi beberapa unsur, pikiran, emosi (perasaaan) dan kehendak. Dengan pikirannya, manusia dapat berpikir, dengan perasaannya, manusia dapat mengasihi dan dengan kehendaknya, manusia dapat memilih. Jadi, manusia juga mempunyai jiwa yang hidup di dalam tubuh jasmaninya sebagai manusia.
Tubuh—merupakan unsur yang biasa disebut dengan unsur fana atau unsur lahiriah manusia, yaitu unsur daging yang dapat dilihat, disentuh, dan sebagainya. Morris et al. (1979) dalam Danesi Marcel (2011:53) menulis, bahwa manusia menyampaikan lebih dari dua pertiga pesan-pesan mereka melalui tubuh sebanyak 700.000 tanda fisik yang di antaranya berupa 1.000 postur tubuh yang berbeda-beda, 5.000 isyarat tangan, dan 250.000 ekspresi wajah. Singkatnya, tubuh adalah sebuah sumber signifikansi yang utama.
Pertanyaannya, dimana kedudukan jiwa dalam tubuh? Untuk hal ini, ada dua kata Yunani dalam kitab Penjanjian Baru (PB) yang diterjemahkan sebagai “daging” atau “tubuh”, yaitu sarx dan soma. Kedua kata ini pada prinsipnya memiliki perbedaan. Dimana sarx mengandung acuan ke unsur kasar dari tubuh, yaitu daging. Sementara soma merupakan istilah lebih sopan, dan umumnya dipakai dalam acuan kepada kebaikan pada tubuh.
Banyak sekali orang Kristen memegang konsep bahwa pada saat kematian, jiwa dilepaskan dari kungkungan jasmaninya dan hidup sepanjang kekekalan tanpa lagi dibebani oleh daging. Sebenarnya hal ini keliru dan mengabaikan ajaran alkitabiah tentang kebangkitan tubuh. Justru hal ini merupakan pemikiran gnotisme modern yang sebenarnya berakar dalam kecurigaan bahwa tubuh itu jahat, dan roh baik adanya! Manusia memang sering memandang tubuhnya sebagai objek yang sementara di tungganginya dengan melupakan bahwa manusia adalah tubuh dan bahwa tubuh manusia adalah rumah Roh Kudus (1 Korintus 6:19).
Sebagaimana ajaran ortodoks Kristen, bahwa manusia diciptakan dalam gambar Allah. Tentu saja, tubuh manusia adalah bagian yang dalam pernyataan Allah pada penciptaan disebut “baik adanya”. Artinya, tubuh manusia dipengaruhi oleh kejatuhan, tetapi dalam dirinya sendiri ia tidak jahat. Dimana sesudah tubuh kejatuhan itu mati, maka akan menerima tubuh yang dimuliakan. Jadi, ketika Yesus melakukan inkarnasi atau “berinkarnasi” dalam daging manusia, Ia bukan hanya menyelamatkan jiwa manusia tanpa tubuh, tetapi untuk menyelamatkan pribadi manusia seluruhnya termasuk juga tubuh. Lalu pada saat Ia kembali untuk para pengikut-Nya dalam daging dan darah sesudah kebangkitan, Yesus memperlihatkan akan seperti apa tubuh kebangkitan manusia kelak (Mangis Michael, 2011:146-147).
Kitab Kejadian tentang penciptaan, dapat memberikan gambaran secara jelas, bahwa manusia diberikan tempat mulia dalam kosmos dan dalam planet bumi ini. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup dari segenap karya ciptaan Tuhan, tapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya.
Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan manusia berkuasa atas semua makhluk (Kejadian 1:27-2:3). Kesaksian yang sama tentang kekuasaan manusia dan tentang tempatnya yang sentral di alam ciptaan ini, diberikan lagi di tempat-tempat lain seperti yang tercantum dalam kitab Amsal 4:13; Yesaya 42:5-6; Mazmur 8:5-9; Mazmur 104:14-15. Juga secara mengagumkan diberikan dalam inkarnasi (bandingkan Ibrani 2). Namun semuanya seakan berakhir, ketika hak “kebebasan” yang diberikan Tuhan kepada manusia, kemudian disalahgunakan oleh manusia sendiri.
Karena perbuatannya, akhirnya manusia pun membatasi kebebasan Alkhalik dengan kebebasannya sendiri. Manusia mereduksi kebebasannya melalui perbuatannya sendiri. Alhasil, manusia kemudian tampil sebagai makhluk-makluk pencari kebebasan yang tiada henti. Dan dalam hal ini, Alkitab mencatat secara jelas hikayat tentang awal mulanya kebebasan yang terpisahkan dari hak kebebasan yang dimandatkan kepada manusia di taman Eden.
Demikianlah taman Eden, taman sejuta kebebasan, taman sejuta pesona dan keindahan, taman sejuta pengetahuan, bahkan sejuta kekekalan, seakan menjadi saksi sejarah ketika manusia memilih untuk tidak bebas!
Semuanya bermula dari kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 3), kemudian seketika itu juga merangkai unsur-unsur penolakan manusia terhadap kebenaran Allah. Sehingga dengan kebebasannya pula, maka manusia menolak untuk memasuki persekutuan yang akrab dengan Allah—yaitu persekutuan dimana manusia dapat menggenapi tujuan ketika ia diciptakan. Akhirnya, manusia tampil untuk mencari jati dirinya dengan menggunakan kebebasannya untuk sebuah pembenaran akan keberadaannya sendiri (Roma
Roh—merupakan bagian dari diri manusia yang paling dalam. Roh adalah prinsip kehidupan manusia. Roh adalah nafas yang dihembuskan oleh Allah ke dalam manusia dan kembali kepada Allah, kesatuan spiritual dalam manusia. Roh adalah sifat alami manusia yang “immaterial”, dan sangat memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan Allah, yang juga adalah Roh. Di bagian inilah manusia mempunyai potensi untuk memahami dan berhubungan dengan Allah. Iman kepada Allah selalu berasal dari roh. Karena roh inilah maka manusia berbeda dengan binatang. Sehingga memperkokoh posisi manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki roh—yang mampu mengenal Allah.
Jiwa—merupakan unsur batiniah manusia yang tidak dapat dilihat. Jiwa manusia meliputi beberapa unsur, pikiran, emosi (perasaaan) dan kehendak. Dengan pikirannya, manusia dapat berpikir, dengan perasaannya, manusia dapat mengasihi dan dengan kehendaknya, manusia dapat memilih. Jadi, manusia juga mempunyai jiwa yang hidup di dalam tubuh jasmaninya sebagai manusia.
Tubuh—merupakan unsur yang biasa disebut dengan unsur fana atau unsur lahiriah manusia, yaitu unsur daging yang dapat dilihat, disentuh, dan sebagainya. Morris et al. (1979) dalam Danesi Marcel (2011:53) menulis, bahwa manusia menyampaikan lebih dari dua pertiga pesan-pesan mereka melalui tubuh sebanyak 700.000 tanda fisik yang di antaranya berupa 1.000 postur tubuh yang berbeda-beda, 5.000 isyarat tangan, dan 250.000 ekspresi wajah. Singkatnya, tubuh adalah sebuah sumber signifikansi yang utama.
Pertanyaannya, dimana kedudukan jiwa dalam tubuh? Untuk hal ini, ada dua kata Yunani dalam kitab Penjanjian Baru (PB) yang diterjemahkan sebagai “daging” atau “tubuh”, yaitu sarx dan soma. Kedua kata ini pada prinsipnya memiliki perbedaan. Dimana sarx mengandung acuan ke unsur kasar dari tubuh, yaitu daging. Sementara soma merupakan istilah lebih sopan, dan umumnya dipakai dalam acuan kepada kebaikan pada tubuh.
Banyak sekali orang Kristen memegang konsep bahwa pada saat kematian, jiwa dilepaskan dari kungkungan jasmaninya dan hidup sepanjang kekekalan tanpa lagi dibebani oleh daging. Sebenarnya hal ini keliru dan mengabaikan ajaran alkitabiah tentang kebangkitan tubuh. Justru hal ini merupakan pemikiran gnotisme modern yang sebenarnya berakar dalam kecurigaan bahwa tubuh itu jahat, dan roh baik adanya! Manusia memang sering memandang tubuhnya sebagai objek yang sementara di tungganginya dengan melupakan bahwa manusia adalah tubuh dan bahwa tubuh manusia adalah rumah Roh Kudus (1 Korintus 6:19).
Sebagaimana ajaran ortodoks Kristen, bahwa manusia diciptakan dalam gambar Allah. Tentu saja, tubuh manusia adalah bagian yang dalam pernyataan Allah pada penciptaan disebut “baik adanya”. Artinya, tubuh manusia dipengaruhi oleh kejatuhan, tetapi dalam dirinya sendiri ia tidak jahat. Dimana sesudah tubuh kejatuhan itu mati, maka akan menerima tubuh yang dimuliakan. Jadi, ketika Yesus melakukan inkarnasi atau “berinkarnasi” dalam daging manusia, Ia bukan hanya menyelamatkan jiwa manusia tanpa tubuh, tetapi untuk menyelamatkan pribadi manusia seluruhnya termasuk juga tubuh. Lalu pada saat Ia kembali untuk para pengikut-Nya dalam daging dan darah sesudah kebangkitan, Yesus memperlihatkan akan seperti apa tubuh kebangkitan manusia kelak (Mangis Michael, 2011:146-147).
Kitab Kejadian tentang penciptaan, dapat memberikan gambaran secara jelas, bahwa manusia diberikan tempat mulia dalam kosmos dan dalam planet bumi ini. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup dari segenap karya ciptaan Tuhan, tapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya.
Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan manusia berkuasa atas semua makhluk (Kejadian 1:27-2:3). Kesaksian yang sama tentang kekuasaan manusia dan tentang tempatnya yang sentral di alam ciptaan ini, diberikan lagi di tempat-tempat lain seperti yang tercantum dalam kitab Amsal 4:13; Yesaya 42:5-6; Mazmur 8:5-9; Mazmur 104:14-15. Juga secara mengagumkan diberikan dalam inkarnasi (bandingkan Ibrani 2). Namun semuanya seakan berakhir, ketika hak “kebebasan” yang diberikan Tuhan kepada manusia, kemudian disalahgunakan oleh manusia sendiri.
Karena perbuatannya, akhirnya manusia pun membatasi kebebasan Alkhalik dengan kebebasannya sendiri. Manusia mereduksi kebebasannya melalui perbuatannya sendiri. Alhasil, manusia kemudian tampil sebagai makhluk-makluk pencari kebebasan yang tiada henti. Dan dalam hal ini, Alkitab mencatat secara jelas hikayat tentang awal mulanya kebebasan yang terpisahkan dari hak kebebasan yang dimandatkan kepada manusia di taman Eden.
Demikianlah taman Eden, taman sejuta kebebasan, taman sejuta pesona dan keindahan, taman sejuta pengetahuan, bahkan sejuta kekekalan, seakan menjadi saksi sejarah ketika manusia memilih untuk tidak bebas!
Semuanya bermula dari kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 3), kemudian seketika itu juga merangkai unsur-unsur penolakan manusia terhadap kebenaran Allah. Sehingga dengan kebebasannya pula, maka manusia menolak untuk memasuki persekutuan yang akrab dengan Allah—yaitu persekutuan dimana manusia dapat menggenapi tujuan ketika ia diciptakan. Akhirnya, manusia tampil untuk mencari jati dirinya dengan menggunakan kebebasannya untuk sebuah pembenaran akan keberadaannya sendiri (Roma
10:3).
Manusia tidak berusaha untuk hidup dalam persekutuan yang benar dengan Allah dan dengan sesamanya manusia—dimana seharusnya ia dapat memantulkan citra dan kemuliaan Allah dalam kehidupannya. Tetapi justru manusia dengan “kebebasan” yang dimilikinya justru berusaha mencari makna hidupnya sendiri dalam hubungannya dengan dunia ciptaan ini dalam arti alam sekitarnya (Roma 1:25). Akibatnya, hidup manusia selalu ditandai dengan perbudakan (Ibrani 2:14-15), permusuhan dengan roh-roh jahat (Efesus 6:12), kelemahan dan kegagalan (Yesaya 40:6; Ayub 14:1), dan manusia juga demikian busuk dan jahat dalam pikiran dan hati (Kejadian 8:21; Ayub 14:4; Mazmur 51:7; Matius 15:19, 20; 12:39) sehingga ia memutarbalikkan kebenaran Allah menjadi dusta (Roma 1:25).
Berry Thomas (2013:51), kemudian tampil dengan menggambarkan sosok manusia sebagai makhluk yang padanya alam semesta ini berefleksi dan merayakan dirinya dengan cara menyadari kesalahan dirinya. Sehingga manusia adalah salah suatu bentuk “mode of being” (keberadaan) akan seluruh alam semesta; tetapi juga sekaligus suatu ciptaan yang khas di dalamnya. Lebih dari ciptaan-ciptaan yang lainnya, manusia memiliki kedekatan dengan alam semesta dalam singgasana alam ruang dan waktu keberadaannya.
Selanjutnya Teilhard (dalam Berry, 2013:52) mengekspresikan pemikirannya dalam sebuah surat yang ditulis pada tahun 1952: ..“Manusia hanya bisa dipahami dengan cara menelusuri kembali kehadirannya secara fisis, kimiawi, bilogis dan geologis. Dengan perkataan lain, manusia adalah fenomena kosmis dan bukan pertama-tama fenomena estetis, moral atau religius”. Sehingga, Berry lalu menyimpulkan apa yang dikatakan Teilhard ini dengan konsep manusia yang menyatakan bahwa dalam memenuhi perannya, manusia akan tergantung pada alam dan setiap aspek dari pemahaman intelektual, perkembangan spritual, kreativitas imajinasi dan kepekaan emosinya.
Berbeda dengan pendapat Berry di atas, dalam hal lainnya, dikatakan pula bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang sifatnya paradoks! Satu-satunya makhluk yang memiliki gambar Allah di planet ini, namun yang juga mampu melakukan tindakan yang paling mengerikan! (Nash Ronald, 2012:64).
Seperti halnya yang dikatakan pula oleh Pascal (dalam Ronald, 2012:54-65); “Sungguh makhluk yang aneh, sungguh suatu monster, sungguh begitu kacau, sungguh sosok kontradiksi, sungguh mengherankan! Hakim dari semuanya, dan cacing tanah yang bodoh; guru besar kebenaran, tetapi juga wadah ketidakpastian dan kesalahan; kemuliaan dan sampah dunia”.
Di bagian lainnya, Pascal juga menuliskan: ...
Manusia itu bagaikan ilalang, yang paling lemah di alam ini, tapi dia adalah ilalang yang berpikir. Dunia tidak perlu mempersenjatai diri untuk menghancurkannya, dengan uap atau setetes air sudah cukup untuk melumatkannya. Namun jika dunia ini berkehendak melumatkannya, manusia tetap lebih mulia dari pembunuhnya karena manusia mengetahui bahwa ia mati dan keuntungan dunia terhadap dirinya telah berakhir, sedangkan dunia sama sekali tidak mengetahui hal ini
Paradoks yang esensial dari manusia di sini adalah ‘kehebatan’ dan ‘kemalangan’ manusia, yang muncul membawa dua kebenaran penting. Dimana Allah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya; tujuan utama manusia menurut katekismus Westminster adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Tapi setiap manusia telah jatuh dalam dosa, dalam pemberontakan melawan Allah yang menciptakan dan mengasihinya.
Keterbatasan manusia sebagai manusia, tampak dalam lingkup pengalaman masa lalu dan semua pengalaman yang dimiliki itu demikian terbatas, sehingga manusia beresiko melakukan kekeliruan, baik itu ketika ia melakukan generalisasi maupun ketika ia memperhitungkan pengalaman yang telah di alami untuk mengantisipasi pengalaman baru yang akan dihadapinya nanti.
Dan salah satu yang membuat manusia itu terbatas dalam kehendak bebasnya adalah kesementaraan manusia itu sendiri. Kunci dalam memahami permasalahan keterbatasan dan kekeliruan ini, hanya akan diperolehnya di dalam Allah, yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk terbatas, dengan maksud agar manusia belajar untuk hidup dengan dua kemungkinan dan pengalaman ketika melakukan kekeliruan secara nyata. Sehingga, manusia harus menerima keterbatasan dan keadaan dapat bersalah ini sebagai bagian dari natur manusia sebagai ciptaaan, dan mengambil sikap yang benar terhadap pengetahuan—dimana pada saat yang sama, ia dapat bersikap rendah hati sekaligus memiliki keyakinan berkenaan dengan pengetahuannya. Demikianlah dijelaskan oleh Holmes Arthur lewat karyanya “All Truth is God’s Truth” (2009:93-94,96).
Namun berdasarkan perspektif Kristen, Blamires Harry (2010:175) menyatakan bahwa, pemikiran Kristen bersifat “inkarnasional”. Pemikiran Kristen menyelidiki manusia dengan menyadari bahwa Allah telah menjadi manusia, mengenakan natur manusia, dan dengan demikian meninggikan natur tersebut untuk selamanya dan sampai kekekalan. Sehingga konsep Kristen mengenai pribadi manusia amatlah tinggi. Pemahaman umat Kristen tentang kesakralan kepribadian manusia tertanam begitu dalam di dalam kebenaran teologis yang diwahyukan. Dalam pandangan Kristen ini, status kepribadian adalah sedemikian rupa, sehingga ia tidak boleh, misalnya, ditundukkan (diperhamba) oleh mekanisme.
Inti dari kekristenan tidak akan berarti bagi orang-orang yang tidak dapat memahami dan menghargai doktrin Kristen tentang dosa. Setiap manusia hidup dan terpisah dari pencipta-Nya. Sebab setiap manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Sehingga manusia hanya mendapatkan kebebasan hakikinya, ketika ia—manusia itu—menyadari akan kebutuhannya untuk pengampunan dan penebusan melalui dan di dalam keselamatan yang hanya dimungkinkan oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus sang pembebas umat manusia.
Oleh: Abdy Busthan
Berry Thomas (2013:51), kemudian tampil dengan menggambarkan sosok manusia sebagai makhluk yang padanya alam semesta ini berefleksi dan merayakan dirinya dengan cara menyadari kesalahan dirinya. Sehingga manusia adalah salah suatu bentuk “mode of being” (keberadaan) akan seluruh alam semesta; tetapi juga sekaligus suatu ciptaan yang khas di dalamnya. Lebih dari ciptaan-ciptaan yang lainnya, manusia memiliki kedekatan dengan alam semesta dalam singgasana alam ruang dan waktu keberadaannya.
Selanjutnya Teilhard (dalam Berry, 2013:52) mengekspresikan pemikirannya dalam sebuah surat yang ditulis pada tahun 1952: ..“Manusia hanya bisa dipahami dengan cara menelusuri kembali kehadirannya secara fisis, kimiawi, bilogis dan geologis. Dengan perkataan lain, manusia adalah fenomena kosmis dan bukan pertama-tama fenomena estetis, moral atau religius”. Sehingga, Berry lalu menyimpulkan apa yang dikatakan Teilhard ini dengan konsep manusia yang menyatakan bahwa dalam memenuhi perannya, manusia akan tergantung pada alam dan setiap aspek dari pemahaman intelektual, perkembangan spritual, kreativitas imajinasi dan kepekaan emosinya.
Berbeda dengan pendapat Berry di atas, dalam hal lainnya, dikatakan pula bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang sifatnya paradoks! Satu-satunya makhluk yang memiliki gambar Allah di planet ini, namun yang juga mampu melakukan tindakan yang paling mengerikan! (Nash Ronald, 2012:64).
Seperti halnya yang dikatakan pula oleh Pascal (dalam Ronald, 2012:54-65); “Sungguh makhluk yang aneh, sungguh suatu monster, sungguh begitu kacau, sungguh sosok kontradiksi, sungguh mengherankan! Hakim dari semuanya, dan cacing tanah yang bodoh; guru besar kebenaran, tetapi juga wadah ketidakpastian dan kesalahan; kemuliaan dan sampah dunia”.
Di bagian lainnya, Pascal juga menuliskan: ...
Manusia itu bagaikan ilalang, yang paling lemah di alam ini, tapi dia adalah ilalang yang berpikir. Dunia tidak perlu mempersenjatai diri untuk menghancurkannya, dengan uap atau setetes air sudah cukup untuk melumatkannya. Namun jika dunia ini berkehendak melumatkannya, manusia tetap lebih mulia dari pembunuhnya karena manusia mengetahui bahwa ia mati dan keuntungan dunia terhadap dirinya telah berakhir, sedangkan dunia sama sekali tidak mengetahui hal ini
Paradoks yang esensial dari manusia di sini adalah ‘kehebatan’ dan ‘kemalangan’ manusia, yang muncul membawa dua kebenaran penting. Dimana Allah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya; tujuan utama manusia menurut katekismus Westminster adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Tapi setiap manusia telah jatuh dalam dosa, dalam pemberontakan melawan Allah yang menciptakan dan mengasihinya.
Keterbatasan manusia sebagai manusia, tampak dalam lingkup pengalaman masa lalu dan semua pengalaman yang dimiliki itu demikian terbatas, sehingga manusia beresiko melakukan kekeliruan, baik itu ketika ia melakukan generalisasi maupun ketika ia memperhitungkan pengalaman yang telah di alami untuk mengantisipasi pengalaman baru yang akan dihadapinya nanti.
Dan salah satu yang membuat manusia itu terbatas dalam kehendak bebasnya adalah kesementaraan manusia itu sendiri. Kunci dalam memahami permasalahan keterbatasan dan kekeliruan ini, hanya akan diperolehnya di dalam Allah, yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk terbatas, dengan maksud agar manusia belajar untuk hidup dengan dua kemungkinan dan pengalaman ketika melakukan kekeliruan secara nyata. Sehingga, manusia harus menerima keterbatasan dan keadaan dapat bersalah ini sebagai bagian dari natur manusia sebagai ciptaaan, dan mengambil sikap yang benar terhadap pengetahuan—dimana pada saat yang sama, ia dapat bersikap rendah hati sekaligus memiliki keyakinan berkenaan dengan pengetahuannya. Demikianlah dijelaskan oleh Holmes Arthur lewat karyanya “All Truth is God’s Truth” (2009:93-94,96).
Namun berdasarkan perspektif Kristen, Blamires Harry (2010:175) menyatakan bahwa, pemikiran Kristen bersifat “inkarnasional”. Pemikiran Kristen menyelidiki manusia dengan menyadari bahwa Allah telah menjadi manusia, mengenakan natur manusia, dan dengan demikian meninggikan natur tersebut untuk selamanya dan sampai kekekalan. Sehingga konsep Kristen mengenai pribadi manusia amatlah tinggi. Pemahaman umat Kristen tentang kesakralan kepribadian manusia tertanam begitu dalam di dalam kebenaran teologis yang diwahyukan. Dalam pandangan Kristen ini, status kepribadian adalah sedemikian rupa, sehingga ia tidak boleh, misalnya, ditundukkan (diperhamba) oleh mekanisme.
Inti dari kekristenan tidak akan berarti bagi orang-orang yang tidak dapat memahami dan menghargai doktrin Kristen tentang dosa. Setiap manusia hidup dan terpisah dari pencipta-Nya. Sebab setiap manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Sehingga manusia hanya mendapatkan kebebasan hakikinya, ketika ia—manusia itu—menyadari akan kebutuhannya untuk pengampunan dan penebusan melalui dan di dalam keselamatan yang hanya dimungkinkan oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus sang pembebas umat manusia.
Oleh: Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar