Jika suatu ketika, kita bertemu dengan seseorang, lalu kita mencoba mengajukan sebuah pertanyaan pada orang tersebut dengan pertanyaan yang berbunyi: apakah Anda pernah membaca sebuah karya sastra? Jawabannya pasti hanya dua: “sudah” atau “belum”. Dalam artian, ‘sudah’ jika memang pernah membacanya, dan ‘belum’ jika memang belum pernah membacanya.
Atau, misalnya kita bertanya lagi pada seseorang dengan pertanyaan lain yang berbunyi: apakah Anda menyukai sastra? Maka sudah dapat dipastikan pula bahwa jawaban dari orang tersebut adalah: “ya” atau “tidak”! Tentu kedua jawaban ini sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya yang bergaul dengan sastra.
Dari uraian di atas, secara sepintas, mungkin kita bisa memberikan pemahaman sederhana mengenai istilah sastra ini. Mungkin saja, kita berasumsi bahwa sastra adalah sesuatu yang mudah dipahami dan selalu dekat dengan kehidupan setiap insan manusia. Sayang sekali, bahwa anggapan seperti ini sangat keliru!
Sebab perlu dipahami bahwa pemahaman karya sastra tidak semuda-mudahnya seperti yang kita kira. Jika sebuah pertanyaan dilontarkan dengan bunyi, apakah Sastra itu? Maka, pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Mengapa? Karena setiap jawaban yang nantinya akan diberikan, tidak akan bisa menimbulkan kepuasan bagi siapa saja yang bertanya. Tentunya hal ini menegaskan bahwa secara konseptual, siapapun yang menjadi orang yang ditanya tentang pertanyaan itu, maka ia tidak mungkin dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”—meskipun dalam keseharian ia mengenal “sastra” sebagai suatu objek yang sering dihadapinya.
Pada umumnya dalam alam realitas ini, sebagian orang memang getol terhadap sastra. Sebagai misalnya, dengan mendengar dan membaca kalimat-kalimat indah, kata-kata mutiara, juga ungkapan-ungkapan persuasif yang memiliki beragam keindahan bahasa dan sastra dalam melakukan komunikasi antar manusia—semua ini, bisa menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang untuk bersastra.
Namun, pemahaman akan setiap kenikmatan karya sastra ini, perlu di dalami sedalam-dalamnya berdasarkan teori-teori sastra yang ada. Teori sastra akan memberikan gambaran konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang dapat membimbing ke arah dan aras pemahaman akan segala fenomena yang terkandung di dalamnya.
Dengan mempelajari teori sastra, maka kita akan bisa memahami fenomena-fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra tersebut. Sebaliknya, dengan memahami juga fenomena kehidupan manusia yang ada dalam teori sastra, maka otomatis kita akan memahami dan lebih mengerti teori-teori sastra. Inilah urgensi pembelajaran sastra!
Esensi Sastra
Menurut Busthan Abdy (2016:13), sastra merupakan istilah yang akan selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, agama, dll. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam sebuah karya sastra. Itulah sebabnya sastra dianggap mampu untuk memberikan suatu kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sebuah sastra, maka muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.
Adakalanya, dengan membaca sastra, seseorang akan terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan tersebut, kemungkinan besar, akan muncul kenikmatan estetis. Namun penting dipahami bahwa, sastra bukan suatu seni bahasa semata, melainkan ia juga merupakan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya, faktor yang sangat menentukan di sini adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.
Menurut Luxemburg dkk (1989) dalam Busthan Abdy (2016:14), sastra juga dapat bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.
Dalam hal penggunaannya, makna dalam istilah sastra, kerapkali dipertentangkan dengan istilah sastrawi, sehingga keduanya menimbulkan makna ambigu. Sulit dibedakan. Padahal, segmentasi dari sastra cenderung mengacu pada definisinya sebagai sekedar sebuah “teks”.
Sedangkan istilah sastrawi, mengarah pada konsep sastra yang sangat kental dengan nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan misalnya, adalah salah satu contoh yang biasanya diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Disamping itu, terdapat perbedaan antara istilah sastrawan dan karya sastra—‘sastrawan’ adalah seseorang yang mempelajari tentang sastra, sedangkan ‘karya sastra’ lebih menunjuk bentuk ataupun hasil dari sastra tersebut.
Pengertian Sastra
Sampai detik ini, tidak ada satu pun definisi tunggal tentang sastra yang dapat menjadi kesepakatan bersama dan bisa diterima oleh semua kalangan. Pengertian sastra luas dan beragam. Para ahli pun mendefinisikan sastra dengan kalimat yang berbeda-beda (Busthan Abdy 2016:14)
Itulah sebabnya, Wiyatmi (2006) menegaskan bahwa sastra bisa diibaratkan seperti angin, berada dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, maka upaya mendefinisikannya akan selalu saja gagal karena definisi yang dicoba dirumuskan, ternyata memiliki pengertian yang kurang sempurna dibanding yang didefinisikannya.
Dari pendapat Wiyatmi ini, mungkin lebih tepatnya sastra dapat diartikan sebagai samudra kata-kata dalam rangkaian gaya bahasa estetis yang terungkapkan melalui tulisan yang mempengaruhi kehidupan insan manusia. Pada titik ini, sastra merupakan keindahan gaya bahasa yang mampu menggugah setiap ranah afektif (perasaan), psikomotorik (perbuatan) dan kognitif (pemikiran) dari setiap individu, agar dengan penggugahan atas 3 ranah ini, maka individu memaknai setiap aspek kehidupannya menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya.
Sastra Secara Etimologis
Menurut Busthan Abdy (2016:15), secara etimologis, kata ‘sastra’ berasal dari sebuah kata dari bahasa Latin, yaitu kata ‘litteratura’, yang merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika. Kedua kata tersebut, yakni litteratura dan grammatika, masing-masing terbentuk dari kata dasar littera dan gramma, yang berarti: huruf atau tulisan.
Dalam perkembangannya, kata ‘sastra’ kemudian disebutkan dengan bebeberapa sebutan, dalam bahasa inggris, sastra disebutkan dengan literature, dan dalam bahasa Jerman adalah literatur, sementara dalam bahasa Perancis disebut dengan littérature (Prancis). Pemakaian kata sastra atau literature kerapkali mengacu pada segala sesuatu yang tertulis. Dalam konteks di Indonesia, istilah “sastra” awalnya berasal dari kata śāstra (शास्त्र), yang merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Sanskerta, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau sebuah “pedoman”.
Kata śāstra ini berasal dari kata dasarnya śās, yang artinya “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia, kata śāstra sering digunakan dengan mengacu kepada kesusastraan atau tulisan yang mempunyai pengertian atau keindahan tertentu yang sifatnya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.
Dalam bahasa Sansekerta, kata berakhiran –tra, biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga dapat pula disimpulkan bahwa sastra merupakan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sebagai contoh adalah silpasastra (buku arsitektur) juga kamasastra (buku petunjuk mengenai seni cinta), dll.
Meskipun sastra sering kali dianggap sebagai karya tulis, namun ia tidak saja selalu identik dengan bahasa tulis. Kesalahpahaman dan perbedaan persepsi sering ditemui ketika memahami suatu tulisan. Namun, berbeda halnya dengan sastra. Potensi makna ganda di dalam suatu karya tulis dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana khas dari sastra.
Keambiguan yang diciptakan dalam karya sastra disebabkan karena tidak adanya hubungan fisik antara pengarang dan pembacanya. Kata aku dalam sebuah puisi misalnya, bukan berarti hanya menyangkut tentang diri si pengarangnya. Keambiguan makna inilah yang kemudian disebut keindahan sastra
Jika, penggunaan dari kata sastra ini berasal dari serapan bahasa sansekerta seperti yang sudah dijelaskan di atas, dimana kata serapan ini merupakan sastra yang memiliki arti tulisan yang berarti pedoman ataupun perintah—pasalnya, kata sas memiliki arti perintah atau ajaran; sementara seni merupakan sebuah ungkapan perasaan manusia yang mempunyai unsur keindahan—maka, jika digabung seni sastra ini, dapatlah ia diartikan sebagai ungkapan manusia berbentuk teks atau tulisan yang bernilai ekstetika sendiri.
Sastra Pada konteks Mimemis
Sebelum melihat pengertian sastra lebih dekat, hal pertama dan utama yang musti dipahami bahwa sastra itu dibentuk oleh dan dari masyarakat. Dan dalam derajat tertentu, sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dengan masyarakat (Busthan Abdy 2016:17).
Sedangkan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Konsep dasar sosiologi sastra seperti ini yang oleh Plato dan Aristoteles, dikenal pula dengan istilah ‘mimesis’—yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’.
Pengertian kata ‘mimesis’ (Yunani: perwujudan atau peniruan) untuk pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni yang digagas dan dikemukakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), yang dari abad ke abad, memang banyak mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut kajian teori mimesis, penciptaan suatu karya sastra tidak sama dengan penulisan sejarah. Sejarah hanya menuliskan fakta-fakta dan menampilkan kejadian seadanya, dengan tujuan memberikan informasi kejadian yang terjadi di masa lalu kepada pembaca.
Sebaliknya, karya sastra diciptakan untuk memuaskan kebutuhan estetik dan rohani manusia. Para penyair misalnya, mereka tidak menulis berdasarkan kenyataan yang ada dan juga tidak menggambarkan suatu kejadian atau setiap dari peristiwa sebagaimana adanya.
Ruang lingkup sastra lebih luas, sehingga para penyair atau pengarang sastra bisa dengan lebih leluasa mengungkapkan beberapa kemungkinan. Perbedaan penafsiran ini bergantung pada sudut pandang yang dimiliki oleh si pembaca.
Atau, misalnya kita bertanya lagi pada seseorang dengan pertanyaan lain yang berbunyi: apakah Anda menyukai sastra? Maka sudah dapat dipastikan pula bahwa jawaban dari orang tersebut adalah: “ya” atau “tidak”! Tentu kedua jawaban ini sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya yang bergaul dengan sastra.
Dari uraian di atas, secara sepintas, mungkin kita bisa memberikan pemahaman sederhana mengenai istilah sastra ini. Mungkin saja, kita berasumsi bahwa sastra adalah sesuatu yang mudah dipahami dan selalu dekat dengan kehidupan setiap insan manusia. Sayang sekali, bahwa anggapan seperti ini sangat keliru!
Sebab perlu dipahami bahwa pemahaman karya sastra tidak semuda-mudahnya seperti yang kita kira. Jika sebuah pertanyaan dilontarkan dengan bunyi, apakah Sastra itu? Maka, pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Mengapa? Karena setiap jawaban yang nantinya akan diberikan, tidak akan bisa menimbulkan kepuasan bagi siapa saja yang bertanya. Tentunya hal ini menegaskan bahwa secara konseptual, siapapun yang menjadi orang yang ditanya tentang pertanyaan itu, maka ia tidak mungkin dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”—meskipun dalam keseharian ia mengenal “sastra” sebagai suatu objek yang sering dihadapinya.
Pada umumnya dalam alam realitas ini, sebagian orang memang getol terhadap sastra. Sebagai misalnya, dengan mendengar dan membaca kalimat-kalimat indah, kata-kata mutiara, juga ungkapan-ungkapan persuasif yang memiliki beragam keindahan bahasa dan sastra dalam melakukan komunikasi antar manusia—semua ini, bisa menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang untuk bersastra.
Namun, pemahaman akan setiap kenikmatan karya sastra ini, perlu di dalami sedalam-dalamnya berdasarkan teori-teori sastra yang ada. Teori sastra akan memberikan gambaran konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang dapat membimbing ke arah dan aras pemahaman akan segala fenomena yang terkandung di dalamnya.
Dengan mempelajari teori sastra, maka kita akan bisa memahami fenomena-fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra tersebut. Sebaliknya, dengan memahami juga fenomena kehidupan manusia yang ada dalam teori sastra, maka otomatis kita akan memahami dan lebih mengerti teori-teori sastra. Inilah urgensi pembelajaran sastra!
Esensi Sastra
Menurut Busthan Abdy (2016:13), sastra merupakan istilah yang akan selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, agama, dll. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam sebuah karya sastra. Itulah sebabnya sastra dianggap mampu untuk memberikan suatu kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sebuah sastra, maka muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.
Adakalanya, dengan membaca sastra, seseorang akan terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan tersebut, kemungkinan besar, akan muncul kenikmatan estetis. Namun penting dipahami bahwa, sastra bukan suatu seni bahasa semata, melainkan ia juga merupakan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya, faktor yang sangat menentukan di sini adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.
Menurut Luxemburg dkk (1989) dalam Busthan Abdy (2016:14), sastra juga dapat bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.
Dalam hal penggunaannya, makna dalam istilah sastra, kerapkali dipertentangkan dengan istilah sastrawi, sehingga keduanya menimbulkan makna ambigu. Sulit dibedakan. Padahal, segmentasi dari sastra cenderung mengacu pada definisinya sebagai sekedar sebuah “teks”.
Sedangkan istilah sastrawi, mengarah pada konsep sastra yang sangat kental dengan nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan misalnya, adalah salah satu contoh yang biasanya diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Disamping itu, terdapat perbedaan antara istilah sastrawan dan karya sastra—‘sastrawan’ adalah seseorang yang mempelajari tentang sastra, sedangkan ‘karya sastra’ lebih menunjuk bentuk ataupun hasil dari sastra tersebut.
Pengertian Sastra
Sampai detik ini, tidak ada satu pun definisi tunggal tentang sastra yang dapat menjadi kesepakatan bersama dan bisa diterima oleh semua kalangan. Pengertian sastra luas dan beragam. Para ahli pun mendefinisikan sastra dengan kalimat yang berbeda-beda (Busthan Abdy 2016:14)
Itulah sebabnya, Wiyatmi (2006) menegaskan bahwa sastra bisa diibaratkan seperti angin, berada dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, maka upaya mendefinisikannya akan selalu saja gagal karena definisi yang dicoba dirumuskan, ternyata memiliki pengertian yang kurang sempurna dibanding yang didefinisikannya.
Dari pendapat Wiyatmi ini, mungkin lebih tepatnya sastra dapat diartikan sebagai samudra kata-kata dalam rangkaian gaya bahasa estetis yang terungkapkan melalui tulisan yang mempengaruhi kehidupan insan manusia. Pada titik ini, sastra merupakan keindahan gaya bahasa yang mampu menggugah setiap ranah afektif (perasaan), psikomotorik (perbuatan) dan kognitif (pemikiran) dari setiap individu, agar dengan penggugahan atas 3 ranah ini, maka individu memaknai setiap aspek kehidupannya menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya.
Sastra Secara Etimologis
Menurut Busthan Abdy (2016:15), secara etimologis, kata ‘sastra’ berasal dari sebuah kata dari bahasa Latin, yaitu kata ‘litteratura’, yang merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika. Kedua kata tersebut, yakni litteratura dan grammatika, masing-masing terbentuk dari kata dasar littera dan gramma, yang berarti: huruf atau tulisan.
Dalam perkembangannya, kata ‘sastra’ kemudian disebutkan dengan bebeberapa sebutan, dalam bahasa inggris, sastra disebutkan dengan literature, dan dalam bahasa Jerman adalah literatur, sementara dalam bahasa Perancis disebut dengan littérature (Prancis). Pemakaian kata sastra atau literature kerapkali mengacu pada segala sesuatu yang tertulis. Dalam konteks di Indonesia, istilah “sastra” awalnya berasal dari kata śāstra (शास्त्र), yang merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Sanskerta, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau sebuah “pedoman”.
Kata śāstra ini berasal dari kata dasarnya śās, yang artinya “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia, kata śāstra sering digunakan dengan mengacu kepada kesusastraan atau tulisan yang mempunyai pengertian atau keindahan tertentu yang sifatnya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.
Dalam bahasa Sansekerta, kata berakhiran –tra, biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga dapat pula disimpulkan bahwa sastra merupakan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sebagai contoh adalah silpasastra (buku arsitektur) juga kamasastra (buku petunjuk mengenai seni cinta), dll.
Meskipun sastra sering kali dianggap sebagai karya tulis, namun ia tidak saja selalu identik dengan bahasa tulis. Kesalahpahaman dan perbedaan persepsi sering ditemui ketika memahami suatu tulisan. Namun, berbeda halnya dengan sastra. Potensi makna ganda di dalam suatu karya tulis dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana khas dari sastra.
Keambiguan yang diciptakan dalam karya sastra disebabkan karena tidak adanya hubungan fisik antara pengarang dan pembacanya. Kata aku dalam sebuah puisi misalnya, bukan berarti hanya menyangkut tentang diri si pengarangnya. Keambiguan makna inilah yang kemudian disebut keindahan sastra
Jika, penggunaan dari kata sastra ini berasal dari serapan bahasa sansekerta seperti yang sudah dijelaskan di atas, dimana kata serapan ini merupakan sastra yang memiliki arti tulisan yang berarti pedoman ataupun perintah—pasalnya, kata sas memiliki arti perintah atau ajaran; sementara seni merupakan sebuah ungkapan perasaan manusia yang mempunyai unsur keindahan—maka, jika digabung seni sastra ini, dapatlah ia diartikan sebagai ungkapan manusia berbentuk teks atau tulisan yang bernilai ekstetika sendiri.
Sastra Pada konteks Mimemis
Sebelum melihat pengertian sastra lebih dekat, hal pertama dan utama yang musti dipahami bahwa sastra itu dibentuk oleh dan dari masyarakat. Dan dalam derajat tertentu, sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dengan masyarakat (Busthan Abdy 2016:17).
Sedangkan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Konsep dasar sosiologi sastra seperti ini yang oleh Plato dan Aristoteles, dikenal pula dengan istilah ‘mimesis’—yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’.
Pengertian kata ‘mimesis’ (Yunani: perwujudan atau peniruan) untuk pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni yang digagas dan dikemukakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), yang dari abad ke abad, memang banyak mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut kajian teori mimesis, penciptaan suatu karya sastra tidak sama dengan penulisan sejarah. Sejarah hanya menuliskan fakta-fakta dan menampilkan kejadian seadanya, dengan tujuan memberikan informasi kejadian yang terjadi di masa lalu kepada pembaca.
Sebaliknya, karya sastra diciptakan untuk memuaskan kebutuhan estetik dan rohani manusia. Para penyair misalnya, mereka tidak menulis berdasarkan kenyataan yang ada dan juga tidak menggambarkan suatu kejadian atau setiap dari peristiwa sebagaimana adanya.
Ruang lingkup sastra lebih luas, sehingga para penyair atau pengarang sastra bisa dengan lebih leluasa mengungkapkan beberapa kemungkinan. Perbedaan penafsiran ini bergantung pada sudut pandang yang dimiliki oleh si pembaca.
Oleh Abdy Busthan
Rujukan Buku:
Busthan Abdy. (2016). Sejarah & Teori Sastra. Kupang: Desna Life Ministry
Yang berminat mendapatkan buku ini,
silahkan WhatsApp atau Kontak via HP 081333343222
silahkan WhatsApp atau Kontak via HP 081333343222
Tidak ada komentar
Posting Komentar